kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Soal permasalahan kedelai, ini saran Serikat Petani Indonesia (SPI)


Selasa, 05 Januari 2021 / 21:06 WIB
Soal permasalahan kedelai, ini saran Serikat Petani Indonesia (SPI)
ILUSTRASI. Harga kedelai melonjak di awal 2021


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belakangan ini kedelai kembali disorot karena harganya yang terus meroket. Tercatat, harga kedelai di pasaran melonjak dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogram (kg).

Akibat gejolak harga tersebut, setidaknya ada 5.000 pelaku usaha kecil dan menengah atau UKM di DKI Jakarta yang menghentikan proses produksi tahu dan tempe selama tiga hari, terhitung mulai tanggal 1 hingga 3 Januari 2021.

Sayangnya, kenaikan harga tersebut berasal dari kedelai impor bukan kedelai lokal. Mengingat tata niaga kedelai di Indonesia mengacu pada pasar bebas atau internasional.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, kondisi saat ini merupakan imbas dari kebijakan pasar bebas sejak Indonesia menjadi anggota WTO tahun 1995 dan Letter of Intent (LOI) IMF dengan Pemerintahan Soeharto pada tahun 1998.

Baca Juga: Kemendag beberkan penyebab kenaikan harga tahu dan tempe

Awalnya produksi petani kedelai di tingkat lokal sanggup memenuhi 70%-75% kebutuhan kedelai nasional, impor hanya sekitar 20%. Namun, kondisi ini sekarang terbalik. Di mana kedelai impor menjadi sumber utama kebutuhan kedelai nasional. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang semester I-2020 mencapai 1,27 juta ton.

Henry mengingatkan, pemerintah harus berhati-hati, karena ini semua bisa saja cara pedagang pasar global untuk terus perluas pasar kedelai di Indonesia. Kedelai impor ini pun bisa dipastikan adalah produk GMO yang diimpor dari Amerika Serikat, dan Amerika Selatan seperti Brasil dan Argentina.

“Gejolak harga kacang kedelai ini juga bisa sebagai upaya pengenalan benih kedelai hasil rekayasa genetik atau GMO (Genetically Modified Organism) untuk dikembangkan di Indonesia yang berpotensi besar menghilangkan benih-benih kedelai lokal. Untuk di Indonesia sendiri impor kedelai juga masih dikuasai oleh korporasi transnasional skala besar seperti Cargill,” kata Henry dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Selasa (5/1).

Dia menambahkan, kendati Indonesia mengimpor kedelai dalam jumlah yang besar, berdasarkan Undang-Undang yang ada, Indonesia masih termasuk negara yang mau memproteksi pasar dalam negerinya. 

Terdapat upaya untuk meningkatkan produksi dengan gerakan menanam kedelainya untuk memenuhi kebutuhan nasional. Sebagai implementasi dari Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 dan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19 Tahun 2013.

Hanya saja, upaya untuk mengimpor kedelai ini dikhawatirkan akan semakin gencar usai hadirnya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Sebab, UU Cipta Kerja menghapus larangan impor bila kebutuhan dalam negeri mencukupi maupun prioritas penggunaan produk pangan domestik.

"Tidak hanya itu, dihapuskannya pasal 11 ayat (2) dan (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman juga membuat produk GMO lebih mudah beredar di Indonesia,” ungkap dia.

Baca Juga: Harga melesat, ini startegi Kementan melipatgandakan produksi kedelai di 2020

SPI menilai, upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri sebenarnya sudah diinisiasi oleh Kementerian Pertanian (Kementan). Menteri Pertanian sebelumnya, meluncurkan program peningkatan produksi kacang kedelai melalui proyek pajale (padi jagung, dan kedelai), meskipun proyek ini gagal memenuhi target yang direncanakan.

"Kementerian Pertanian sempat menargetkan produksi kedelai pada 2019 bisa mencapai 2,8 juta ton untuk memenuhi kebutuhan yang diperkirakan mencapai 4,4 juta ton. Namun hingga Oktober 2019 hanya tercapai 480.000 ton atau 16,4% dari target. Pada 2018 juga sama, dari target 2,2 juta ton produksi kedelai, hanya terealisasi 982.598 ton," tegas dia.

Henry melanjutkan, permasalahannya adalah bukan karena tidak bisa peningkatan tetapi faktor ketersediaan dan luas tanah yang kurang menjadi salah satu penyebab. Karena itu, program reforma agraria harusnya bisa dipercepat untuk bisa memperluas lahan untuk tanaman kedelai dan pangan lainnya.

“Program pajale menanam di tanah yang sama. Petani tidak mau menanam padi, bersama dengan jagung atau kedelai. Petani pilih padi dan jagung saja, lebih mudah tanam padi diselingi dengan jagung, daripada padi dengan kedelai, walau tanah lebih subur. Karena kedelai itu punya unsur N. Beda dengan di Latin Amerika, mereka tanam jagung dan kedelai saja," pungkas Henry.

Selanjutnya: Kementan akan kerek produksi kedelai nasional di 2021

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×