Reporter: Herlina KD | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Harga kedelai yang sempat melandai, kini kembali melambung. Sementara, produksi kedelai nasional masih belum mencukupi kebutuhan di dalam negeri. Alhasil, ketergantungan akan kedelai impor semakin besar.
Berdasarkan data Bloomberg, harga kedelai di Chicago Board of Trade (CBOT) untuk pengiriman Mei 2011 akhir pekan lalu ada di level US$ 13,71 per bushel. Padahal, pada pertengahan Maret lalu harga kedelai ini sudah sempat melandai ke level US$ 12,7 per bushel. Catatan saja, harga kedelai sempat menyentuh level tertingginya di level US$ 14,63 per bushel (9/2).
Menipisnya stok kedelai dunia menjadi salah satu pemicu kenaikan harga kedelai ini. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) seperti dikutip Bloomberg pekan lalu menyatakan, kemungkinan luas areal tanam kedelai di AS pada tahun ini akan berkurang sekitar 1% ketimbang tahun lalu. Penurunan lahan tanam kedelai ini disebabkan karena petani lebih banyak menanam jagung dan gandum sehingga luas panen untuk kedua komoditas ini lebih besar.
Akibat penurunan luas tanam kedelai di AS ini, para analis yang disurvei oleh Bloomberg memperkirakan cadangan kedelai AS akan melorot menjadi sebesar 136 juta bushel. Jumlah ini turun 2,9% ketimbang perkiraan dari USDA. "Luas areal tanam kedelai tidak akan meningkat banyak," ujar Jerry Gidel, analis pasar North American Risk Management Service Inc seperti dikutip Bloomberg pekan lalu.
Ketua Dewan Kedelai Nasional Benny Kusbini mengungkapkan, menurunnya cadangan kedelai dunia ini memang tidak bisa dihindari. Akibat perubahan iklim, produksi kedelai internasional menurun. Sementara itu penggunaan kedelai semakin meningkat baik untuk bahan pangan maupun energi. "Pasokan stagnan, sementara permintaan naik. Sehingga kenaikan harga tidak bisa dihindari," ungkapnya kepada KONTAN akhir pekan lalu.
Menurutnya, tren harga kedelai nasional trennya akan terus meningkat meski diselingi dengan berbagai koreksi. "Harga kedelai masih mungkin naik sekitar 20% - 30% lagi," ujarnya. Bahkan, Benny mengatakan bisa jadi, tahun ini harga kedelai masih akan menembus rekor barunya.
Sebelumnya, Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tahu tempe Indonesia (Kopti) Sutaryo menjelaskan kenaikan harga kedelai otomatis akan memukul para pengrajin tempe. Menurutnya, para pengrajin tempe saat ini sudah menyiasati kenaikan harga bahan baku tempe dengan memperkecil ukuran produk atau menaikkan harga jual.
Tapi, jika kenaikan harga kedelai di tingkat pengrajin kembali naik melebihi R 6.500 per kg, ia mengatakan langkah alternatif yang akan diambil oleh produsen tempe adalah dengan mengurangi volume produksinya. Ini dilakukan agar produksi tetap berjalan. "Kalau harga bahan baku kembali naik ke level diatas Rp 6.500 per kg, kemungkinan para produsen akan mengurangi produksinya hingga 20%," jelas Sutaryo beberapa waktu lalu.
Benny bilang, ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai masih cukup tinggi. Asal tahu saja, produksi kedelai nasional tahun 2010 lalu hanya sebesar 908.110 ton. Tahun ini, Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi kedelai nasional sebesar 934.000 ton. Padahal, "Kebutuhan kedelai nasional saat ini sekitar 2,4 juta ton dengan pertumbuhan kebutuhan kedelai sekitar 6% per tahun," jelasnya.
Alhasil, jika produksi nasional tidak meningkat, maka impor akan terus terdongkrak. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2010 lalu Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 1,739 juta ton dengan nilai US$ 840,037 juta. Sementara itu, sepanjang Januari - Februari 2011 Indonesia telah mengimpor kedelai sebanyak 425.060 ton dengan nilai US$ 236,879 juta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News