Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah telah menetapkan asumsi subsidi listrik sebesar Rp 58,62 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2020. Asumsi tersebut disusun dengan memperhitungkan sejumlah variable, termasuk harga batubara untuk kelistrikan yang dipatok US$ 70 per ton.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan ESDM Rida Mulyana mengakui, jika harga patokan itu tidak berlanjut, maka akan mempengaruhi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkitan listrik PT PLN (Persero). Kendati demikian, Rida masih belum bisa memastikan apakah patokan harga tersebut akan berlanjut pada tahun 2020, atau akan berakhir pada tahun ini.
"Itu (asumsi subsidi listrik tahun 2020) dengan asumsi patokan harga batubara tetap US$ 70. Tapi kita belum menentukan harga itu dicabut atau tidak," kata Rida saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Kamis (4/7).
Rida masih belum bisa memastikan kapan keputusan soal harga patokan batubara US$ 70 per ton ini akan keluar. Sebab, pembahasan mengenai patokan harga tersebut masih bisa berlanjut kendati asumsi untuk subsidi listrik tahun 2020 sudah ditetapkan dalam nota keuangan pada Agustus nanti.
"Menurut saya belum (diputuskan pada Agustus). Pembahasan belum sampai ke situ (apakah patokan harga batubara akan berlanjut atau tidak)," jelasnya.
Rida menerangkan, dalam penghitungan subsidi listrik 2020 ini, variable kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat diasumsikan sebesar Rp 14.000. Sedangkan untuk harga Indonesian Crude Price (ICP) diasumsikan US$ 60 per barel. "Harus diperhatikan ada sensitivitas kurs dan ICP terhadap subsidi," kata Rida.
Untuk setiap kenaikan ICP US$ 1 per barrel, jelas Rida, akan menambah subsidi sekitar Rp 224 miliar. Sementara untuk setiap kenaikan kurs Rp 100 per US$, akan menambah subsidi sekitar Rp 608 miliar.
"Jadi kita berharap semua parameter yang mempengaruhi bisa membaik. Tapi ini asumsi ya, jadi bergerak, bisa naik dan turun," jelasnya.
Dihubungi terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN Djoko Rahardjo Abumanan mengatakan, pihaknya memang sangat memperhitungkan harga batubara. Hal itu lantaran komoditas emas hitam itu sangat mendominasi struktur biaya produksi yang harus ditanggung PLN.
"Sekarang ini batubara sekitar 60% dari komposisi energi, jadi sangat dominan dalam struktur biaya produksi kami," kata Djoko saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (4/7).
Kendati demikian, Djoko menegaskan bahwa PLN tidak serta merta ingin agar harga batubara yang dipatok US$ 70 per ton untuk kelistrikan itu diperpanjang. Bahkan, Djoko menekankan PLN tak keberatan jika patokan harga itu tidak berlanjut pada tahun 2020 mendatang.
Asalkan, sambung Djoko, ada kesesuaian antara biaya produksi yang harus ditanggung, dengan harga jual listrik pada golongan yang tidak mendapatkan subsidi.
"Jadi kita malah menyarankan, subsidi tidak kepada produk, tapi kepada masyarakatnya. Jadi kalau mau dilepas (harga batubara) boleh, tapi tarif jangan dikunci. Konsekuensinya begitu" terang Djoko.
Hanya saja, Djoko mengatakan keputusan mengenai hal tersebut ada di tangan pemerintah dan juga DPR RI. PLN, sambung Djoko, hanya akan menjalani apa yang telah diputuskan dari pemerintah dan parlemen.
"Ini diskusinya bukan PLN dan Kementerian ESDM saja, tapi juga Kementerian Keuangan. Jadi mau dilepas atau tidak, keputusan bukan ada di kita, tapi di Pemerintah dan DPR" ungkapnya.
Memang, sejak tahun 2017, Kementerian ESDM menahan kebijakan tariff adjustment. Namun, pada tahun depan, pemerintah berencana menerapkan kebijakan tariff adjustment untuk pelanggan listrik 12 golongan non-subsidi. "Ada 12 golongan yang tidak disubsidi, artinya untuk golongan ini seharusnya tarif mengikuti keekonomian," kata Rida.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News