Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Realisasi penjualan motor listrik nasional di akhir tahun ini cukup bergantung pada keberlanjutan subsidi dari pemerintah. Tanpa itu, paling tinggi penjualannya hanya akan menembus angka 8.000 unit saja.
Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu memproyeksikan, tanpa adanya subsidi Rp 7 juta per unit seperti pada tahun 2024 lalu, penjualan motor listrik periode Agustus–Desember 2025 hanya akan mencapai 7.000–8.000 unit. Angka tersebut setara dengan 1.500 unit per bulan.
“Proyeksi ini mengacu pada tren penurunan sepanjang Januari–Juli 2025 setelah pemerintah mencabut insentif. Subsidi Rp 7 juta per unit menjadi penentu karena secara signifikan menurunkan harga motor listrik hingga bisa bersaing dengan motor konvensional,” ujar Yannes kepada Kontan, Senin (18/8/2025).
Baca Juga: Ekosistem Lemah, Industri Motor Listrik Butuh Kolaborasi Berbagai Pihak
Namun, apabila subsidi kembali diberlakukan pada Agustus, penjualan berpotensi rebound signifikan. Proyeksinya, volume penjualan bisa kembali ke kisaran 25.000–30.000 unit atau sekitar 5.000–6.000 unit per bulan, mendekati capaian rata-rata sepanjang 2024 ketika subsidi masih berlaku.
Yannes menegaskan, kecepatan pemerintah dalam mengambil keputusan subsidi akan sangat menentukan hasil akhir tahun ini.
“Semakin lama insentif turun, semakin kecil peluang untuk mengejar target penjualan. Momentum bisa hilang begitu saja,” jelasnya.
Pasalnya, daya beli masyarakat Indonesia sangat sensitif terhadap harga kendaraan bermotor, apalagi di tengah tekanan inflasi dan pelemahan daya beli pasca-pandemi. Selisih Rp 5 juta–Rp 7 juta menjadi faktor penentu, terutama karena 70% pembeli motor berasal dari kalangan menengah-bawah.
Baca Juga: Penjualan Motor Listrik Turun dan Stok Menumpuk, Produsen Mengerem Produksi
Selain faktor harga, Yannes bilang pasar juga dihantui berbagai hambatan lain, misalnya belum meratanya infrastruktur pengisian daya di luar kota besar yang menimbulkan kekhawatiran jarak tempuh. Layanan stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) yang masih terbatas dan tidak kompatibel antar-merek turut menjadi kendala.
Konsumen juga ragu dengan minimnya jaringan bengkel resmi dan teknisi yang paham teknologi motor listrik di daerah. Khawatirnya, ada kesulitan perawatan dan perbaikan. Belum lagi soal daya tahan baterai dan biaya penggantian yang tinggi turut menekan minat beli.
Tak berhenti di situ, harga jual kembali (second) motor listrik juga merosot tajam, mengikuti tren mobil listrik (BEV).
“Kondisi ini membuat calon pembeli semakin khawatir, terutama dari kelompok menengah bawah yang sensitif terhadap kondisi keuangan,” tandasnya.
Selanjutnya: Pertumbuhan Ekonomi 5,12% Dinilai Masuk Akal, Ekonom Bank Permata Ungkap Datanya
Menarik Dibaca: Simak Manfaat Spirulina untuk Tumbuh Kembang Anak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News