Reporter: TribunNews | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri sawit menempatkan perlindungan pekerja perempuan dan pencegahan pekerja anak sebagai prioritas untuk memenuhi standar keberlanjutan dan menjaga kinerja ekspor.
Upaya ini menguat seiring berlakunya Permentan 33/2025 tentang Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang menetapkan 5 kriteria dan 36 indikator ketenagakerjaan sebagai syarat utama sertifikasi.
Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian, Baginda Siagian, menegaskan bahwa seluruh aktivitas perusahaan kini harus selaras dengan 17 tujuan SDGs dan bebas dari pekerja anak.
“ISPO wajib memastikan penerapan kesetaraan gender dan perlindungan tenaga kerja,” ujarnya dalam Diskusi Forum Wartawan Pertanian, Selasa (2/12/2025).
Baca Juga: Ekonom Maybank: Industri Masih Mampu Serap Tenaga Kerja Meski Tarif AS Naik Jadi 19%
Baginda menekankan bahwa keberlanjutan bukan hanya tuntutan global, tetapi kebutuhan domestik mengingat besarnya ekosistem sawit Indonesia. Saat ini terdapat 9,6 juta pekerja langsung, hingga 8 juta pekerja tidak langsung, dan sekitar 50 juta jiwa yang bergantung pada sektor ini. Sawit juga menyumbang 3,5% terhadap PDB serta menopang program energi B40 dan rencana B50.
Ia mengakui masih ada persoalan lapangan, seperti ketimpangan upah berbasis jam kerja, minimnya fasilitas penitipan anak, dan akses kesehatan yang belum merata.
Di sisi lain, banyak laporan “pekerja anak” disimpulkan keliru karena anak-anak sering hanya menemani orang tuanya di kebun. Meski demikian, perusahaan tetap dilarang mempekerjakan anak dalam bentuk apa pun dan bisa gagal dalam audit ISPO jika terbukti melanggar.
Ketua Forwatan, Beledug Bantolo, menilai isu humanisme terutama terkait perempuan pekerja, masih belum menjadi perhatian publik.
Baca Juga: Perkuat Pengelolaan Kelapa Sawit, Pemerintah Dorong Sertifikasi ISPO Hulu-Hilir
Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN, Delima Hasri Azahari menegaskan perlunya kehati-hatian dalam menilai isu pekerja anak dan meminta perbaikan fasilitas dasar seperti klinik kebun 24 jam dan sanitasi.
Ia menilai kerangka hukum sudah kuat, tetapi implementasi dan audit lapangan masih perlu diperkuat.
Pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia GAPKI Kompartemen Pekerja Perempuan & Perlindungan Anak, Marja Yulianti mengatakan 758 perusahaan anggotanya telah menjalankan berbagai program perlindungan, termasuk pelatihan K3, penyediaan APD, posyandu, PAUD, ruang laktasi, hingga Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan.
Ia memastikan standar upah perempuan setara bagi karyawan tetap dan menilai sebagian tuduhan pekerja anak berasal dari miskonsepsi di lapangan. Saat ini 69% perusahaan anggota GAPKI telah tersertifikasi ISPO.
Sementara itu, Solidaridad Ind
ia menekankan bahwa pemberdayaan perempuan adalah kunci menuju sawit berkelanjutan dan bebas pekerja anak.
Baca Juga: Serikat Buruh Ragukan Data Penyerapan Tenaga Kerja Kemenperin Capai 303.000 orangKepala Pengembangan Program Solidaridad Indonesia, Edy Dwi Hartono, menyebut formalisasi status pekerja perempuan dari pekerja harian ke tenaga kerja berkontrak sebagai intervensi paling efektif memutus rantai pekerja anak.
Pemberdayaan perempuan, lanjutnya, meningkatkan stabilitas ekonomi keluarga dan menurunkan risiko anak ikut bekerja di kebun.
Secara umum, pemenuhan standar ketenagakerjaan dan perlindungan kelompok rentan diyakini menjadi faktor penentu keberlanjutan industri sawit sekaligus menjaga daya saing ekspor Indonesia.
Sumber: https://www.tribunnews.com/bisnis/7762581/upaya-industri-sawit-lindungi-pekerja-perempuan-dan-cegah-pekerja-anak?page=all&s=paging_new.
Selanjutnya: BI Bantah Agresif Serap Likuiditas dari Bank, Kebijakan Moneter Justru Ekspansif
Menarik Dibaca: Hujan Sangat Lebat di Provinsi Ini, Cek Peringatan Dini Cuaca Besok (4/12) dari BMKG
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













