Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Institute for Essential Services Reform (IESR) melihat perkembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia yang lambat dalam beberapa tahun belakangan dapat berdampak tidak tercapainya target bauran EBT 23% di 2025 mendatang.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menjelaskan, untuk mencapai target 23% EBT di 2025 untuk sektor kelistrikan, Indonesia harus menambah pembangkit hingga 13 Gigawatt (GW) atau setara 6 GW sampai 7 GW pertahun.
“Untuk mencapai ini agak sulit karena melihat dari perencanaan PT PLN dan lelang pembangkit EBT pada 3-4 tahun lalu tidak ada yang sampai 6 GW hingga 7 GW. Jadi akan susah mencapai target itu,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (7/12).
Sedangkan, Indonesia juga tidak bisa begitu saja menaikkan kapasitas pembangkit EBT secara drastis dalam waktu singkat karena dapat menganggu sistem kelistrikan. Maka itu dibutuhkan waktu untuk menyesuaikan dan menyeimbangkan penambahan kapasitas listrik hijau di dalam negeri.
Baca Juga: Investasi EBTKE Tahun Ini Melempem, ICRES: Akibat Kondisi dan Kebijakan Nasional
Fabby menjelaskan, investasi EBT di 2023 akan menjadi yang paling terendah dalam 6 tahun belakangan karena sejak 2020 lelang pembangkit energi terbarukan sangat sedikit. Ditambah pada 2021 di masa Covid-19, lelang EBT tidak dilakukan.
Kemudian pada 2022 pengadaan pembangkit hijau mulai kembali berjalan hanya saja belum terlalu ramai.
“Tentu kalau tidak ada proyek yang dilelang, maka investasi tidak banyak,” ujarnya.
Persoalan EBT ini semakin diperkeruh dengan kondisi oversupply listrik PT PLN di sistem Jawa-Bali sehingga penambahan kapasitas EBT dalam beberapa tahun terakhir sangat lambat.
Meski demikian, IESR melihat masih ada harapan lebih besar setelah 2025. Di masa itu, PLN sudah dapat mengatasi masalah oversupply listriknya di 2026 sehingga kebutuhan pembangkit EBT lebih besar.
“Kami melihat akan ada akselarasi di 2025 ke atas dan akan lebih prospektif di 2030 nanti,” ujarnya.
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia menetapkan target bauran EBT di 2030 sebesar 25%. Lantas, jika mengacu pada target skema Just Energy Transition Partnership (JETP), target bauran EBT justru lebih tinggi yakni 34% pada 2030.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro melihat persoalan EBT di Indonesia berpusat pada tidak tercapainya keekonomian proyek. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, misalnya perizinan, tata guna lahan yang beririsan dengan lintas sektor, hingga tarif listrik yang tidak kompetitif.
Baca Juga: Hingga November 2023, Realisasi Investasi EBTKE Indonesia Mencapai US$ 1,17 Miliar
“EBT dihadapkan dengan masalah jual beli listrik yang bertopang pada PLN sebagai single buyer. Kalau PLN tidak bersedia membeli di harga yang ditawarkan pengembang, tentu pengembang tidak punya pilihan lain,” terangnya saat dihubungi terpisah.
Pasalnya, selama ini tarif listrik EBT dibandingkan dengan rata-rata beban pokok penyediaan (BPP) listrik dari pembangkit batubara yang bahan bakunya disubsidi. Tentu jika basis perhitungan ini terus digunakan, harga setrum dari EBT tidak akan kompetitif sampai kapan pun.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengemukakan sampai semester I 2023 bauran energi baru terbarukan (EBT) baru mencapai 12,5% atau belum mencapai dari target yang seharusnya 17,9%.
“Tapi tentunya kalau kita bicara di sini, kita punya strategi sekarang perlu upaya peningkatan bauran EBT untuk mencapai target itu,” ujarnya Dirjen EBTKE, Yudo Dwinanda dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (15/11).
Strategi pertama ialah, penambahan kapasitas pembangkit EBT sesuai RUPTL dan memastikan commercial operation date (COD) tepat waktu. Selain itu, pihaknya juga mendorong percepatan proses pengadaan. “Kami akan dorong pemanfaatan bendungan PUPR baik untuk PLTA maupun PLTS Terapung,” jelasnya.
Baca Juga: Sejumlah Perusahaan Konglomerat Makin Agresif Jajaki Energi Baru Terbarukan (EBT)
Strategi kedua, mengimplementasikan program PLTS Atap di mana targetnya 3,37 GW di 2025. Kemudian, menjalankan program mandatori B35/B40 dengan target di 2025 sebesar 13,9 juta kL. Selanjutnya, Kementerian ESDM juga mendorong program Co-Firing Biomassa pada PLTU dengan target 10,2 juta ton biomassa di 2025.
Pihaknya juga melaksanakan program mandatori manajemen energi sesuai PP No 33 tahun 2023 tentang Konservasi Energi dan perluasan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) pada peralatan pemanfaat listrik.
“Lalu pemanfaatan EBT off grid, penyediaan akses energi modern melalui EBT di lokasi 3T. Eksplorasi panas bumi oleh Pemerintah dan pemanfaatan langsung EBT Non Listrik,” imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News