Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) mengungkapkan bahwa target pemerintah untuk penggunaan bioavtur sebesar 5 persen pada tahun 2025 sulit tercapai.
Terkait hal ini, analis hukum dari PUSHEP, Bayu Yusya, mengatakan ada beberapa alasan yang pada dasarnya terbagi menjadi faktor eksternal dan internal.
"Yang pertama adalah karena faktor iklim, kemudian regulasi dan kebijakan ke depan juga turut mempengaruhi," katanya saat dihubungi Kontan, Selasa (02/07).
Bayu menambahkan, selain dari dukungan regulasi yang masih minim sejak awal penerapan kebijakan bioavtur, ia melihat kemauan politik pemerintah untuk mencapai target tersebut masih kurang. Selain itu, juga dipengaruhi oleh aspek teknis, misalnya sumber dari bioavtur itu sendiri.
Baca Juga: Hilirisasi Biofuel Kian Dilirik Pelaku Usaha
Untuk diketahui, bioavtur adalah bahan bakar pesawat yang dibuat dari campuran avtur dan minyak inti kelapa sawit.
"Ini karena, produksi sawit tidak sepenuhnya diarahkan untuk pengembangan bioavtur. Pengembangan bioavtur butuh dukungan, termasuk dalam pengelolaan limbahnya," tutup Bayu.
Adapun, implementasi bioavtur untuk industri penerbangan di Indonesia sebetulnya sudah tertuang sejak Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Dalam peraturan tersebut, campuran bioavtur ditargetkan mencapai 2 persen pada 2016, 3 persen pada 2020, dan 5 persen pada 2025.
Terakhir, implementasi penggunaan bioavtur baru dilakukan dalam sebuah fase pilot project di tahun 2021 lalu, yang dilakukan oleh pesawat CN235-220 FTB (Flying Test Bed) milik PT Dirgantara Indonesia, menggunakan campuran bahan bakar bioavtur 2,4 persen, di Hanggar 2 PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMF), Tangerang.
Kegiatan ini termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Hilirisasi Industri Katalis dan Bahan Bakar Biohidrokarbon yang dikoordinasikan oleh Kementerian ESDM.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News