Reporter: Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli
“Padahal, SPKLU jenis ultra fast charging ini dibutuhkan oleh kendaraan-kendaraan roda empat yang menempuh perjalanan jarak jauh, bukan jarak commuting dalam kota,” tutur dia, Minggu (30/7).
Fabby menilai, dengan Kepmen tersebut, investor bisa lebih mudah menghitung besarnya modal yang dibutuhkan untuk mengembangkan SPKLU serta memperkirakan besaran laba maupun waktu balik modal yang diperlukan ketika menggeluti bisnis tersebut. Investor juga bisa lebih mudah dalam menyesuaikan teknologi SPKLU yang dipakai ketika sudah ada standar tarif layanannya.
Peluang bertambahnya investor untuk berkecimpung di bisnis SPKLU pun cukup terbuka. Ini mengingat biaya pembangunan fasilitas charging station terus menunjukkan tren penurunan seiring berkembangnya teknologi dan permintaan mobil listrik di dunia.
Baca Juga: Begini Strategi Jasa Marga (JSMR) Hadapi Peningkatan Volume Lalin Saat Idul Adha
Fabby memberi contoh, biaya pembangunan charging station berteknologi ultra fast charging kini berada di kisaran US$ 30.000—US$ 35.000 dan berpotensi turun lagi pada masa depan.
Selain itu, tarif pengisian di SPKLU yang diatur dalam Kepmen ESDM tersebut dianggap masih lebih murah dibandingkan biaya pengisian BBM lewat SPBU.
Manfaat yang diperoleh pengguna mobil listrik juga cukup banyak. Sebab, teknologi ultra fast charging memungkinkan pengendara mengisi baterai mobil listriknya sebanyak 80% hanya dalam waktu 30 menit saja.
“Sebenarnya tarifnya tetap lebih murah dibandingkan isi BBM. Tarif ini tampaknya ditentukan berdasarkan kapasitas baterai mobil listrik di Indonesia yang rata-rata sekitar 30 sampai 50 KWh,” pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News