Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berbagai upaya dilakukan untuk memangkas emisi di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Salah satunya dengan menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon alias carbon capture and storage (CCS) untuk PLTU. Teknologi USC SCR (U-SCR) pada PLTU dinilai pas untuk menurunkan emisi.
Direktur Eksekutif Institute Essential for Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat tak semua PLTU cocok menggunakan teknologi tersebut. Ini karena efektivitas pengurangan emisi maupun nilai keekonomian berujung ke ongkos produksi listrik.
Fabby menyebut dari 13 PLTU yang akan dipensiundinikan dari sisi umur, kinerja dan efiensi, penggunaan CCS tak akan efektif. Selain biaya investasi untuk implementasi CCS di PLTU cukup mahal. Sehingga untuk PLTU yang sudah lama berjalan banyak yang tak berhasil. Ini karena angka carbon yang tercapture masih rendah. Alih-alih berhasil, Febby berpendapat penerapan teknologi ini justru hanya meningkatkan biaya listrik.
Baca Juga: Rengkuh Banyu, Ajak Masyarakat Kurangi Kemasan Plastik dengan Pelepah Pinang
"Jika PLTU tersebut sudah menggunakan teknologi SCR atau USCR seperti pada PLTU Suralaya 9 & 10, penggunaan CCS baru bagus. Jadi, tak semua PLTU layak menggunakan CCS," kata Fabby, Senin (30/9).
Sederhananya, teknologi Selective Catalytic Reduction (SCR) bersama Ultra Super Critical (USC) yang menjadi U-SCR merupakan teknologi untuk menurunkan nitrogen oksida dan nitrogen dioksida, dengan mengonversikan molekulnya menjadi air dan nitrogen bebas. PLTU Jawa 9 dan 10 menjadi PLTU yang mengadopsi teknologi USCR dan berpotensi menjadi pembangkit hibrida pertama yang menggunakan amonia dan hidrogen hijau dalam proses produksinya.
Faby berharap, penggunaan teknologi CCS sebaiknya diperhatikan nilai keekonomian juga investasi yang harus digelontorkan dan sumber investasi tersebut. Jangan sampai, CCS justru menjadi beban dalam biaya produksi listrik (BPP).
Peneliti Indef Abra Talattov mengatakan, BPP listrik PLTU termasuk paling murah. Untuk menjawab tantangan soal polusi, ia menyarankan agar PLTU menerapkan berbagai teknologi untuk menekan emisi, termasuk super critical coal plant maupun co-firing.
"Tentu yang menjadi pertimbangan biaya investasinya juga apakah masih cukup secara ekonomi mampu ditanggung oleh PLTU untuk menerapkan teknologi tersebut, karena jangan sampai dampaknya terhadap BPP naik drastis," pendapat dia.
Abra melanjutkan, jika bicara sumber listrik, tentu harus konsisten terhadap perencanaan yang sudah ada. Perencanaan yang sudah ada ini salah satunya melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Baca Juga: PLN Kembali Resmikan Pengembangan Ekosistem Biomassa di Tasikmalaya
"Artinya dari kondisi eksisting pembangkit, termasuk PLTU, pemerintah harus bisa menjaga keandalannya, kapasitasnya, supaya bisa dimanfaatkan, diutilisasi seoptimal mungkin untuk bisa memberikan keandalan pasokan listrik. Dan paling penting adalah dengan mendukung penyediaan listrik terjangkau, affordable, karena tidak bisa dinafikan BPP listrik dari PLTU ini termasuk yang paling murah," papar Abra.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberi sinyal perubahan arah kebijakan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU. Ia menyebut, operasional pembangkit berbahan bakar batu bara itu tidak menjadi masalah.
Pemerintah akan mengembangkan fasilitas penyimpanan dan penangkapan karbon atau CCS untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia. "PLTU tidak apa-apa. Kami akan mengembangkan carbon capture storage," kata Airlangga, Rabu (25/9).
Pemerintah sedang melakukan uji coba pelaksanaan fasilitas tersebut. CCS adalah teknologi penangkap emisi gas rumah kaca, untuk mencegah polusi udara terlepas ke atmosfer. Emisi yang tertangkap kemudian disimpan di bawah tanah secara permanen.
Potensi CCS di Indonesia mencapai 400 sampai 600 gigaton, artinya seluruh emisi di dalam negeri dapat disimpan dengan teknologi ini selama 322 sampai 482 tahun. Sehari sebelumnya, Airlangga juga sempat menyinggung soal rencana pensiun dini PLTU.
Pensiun dini PLTU menjadi salah satu kebijakan pemerintah guna mempercepat transisi energi. Rencana ini sekarang mengalami kendala, karena kebutuhan biaya yang sangat besar. Berdasarkan kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), biaya untuk pensiun dini PLTU mencapai US$ 4,6 miliar (sekitar Rp 69,5 triliun) hingga 2030 dan US$ 27,5 miliar (sekitar Rp 415,7 triliun) hingga 2050.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan, pemerintah bakal melakukan sejumlah upaya dalam hal pemanfaatan batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik yang sejalan dengan komitmen kebijakan Net Zero Emission (NZE). Beberapa langkah konkrit yang akan dilakukan antara lain seperti pengurangan pemanfaatan batu bara secara bertahap, dan penerapan Clean Coal Technology (CCT) pada pembangkit yang masih beroperasi.
"Batu bara akan tetap memiliki perannya sesuai dengan bauran energi kita. Namun dalam rangka menuju Net-Zero Emission, hal itu akan didukung oleh kebijakan, investasi, dan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ramah lingkungan," kata Bahlil.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan, penerapan teknologi Ultra Super-Critical (USC) pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masuk dalam peta jalan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor energi.
Bahlil menjelaskan, terkait kebijakan PLTU, pemerintah sedang menyusun peta jalan pemensiunan dini PLTU berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Sementara untuk PLTU yang beroperasi, akan diterapkan teknologi CCT melalui pengimplementasian teknologi supercritical dan ultra-supercritical.
Baca Juga: Bahlil Minta Smelter Nikel di Weda Bay Gunakan Pembangkit EBT Mulai 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News