kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45917,01   -18,50   -1.98%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Terpapar dampak corona, pengembangan pembangkit listrik surya menjadi suram


Selasa, 21 April 2020 / 16:38 WIB
Terpapar dampak corona, pengembangan pembangkit listrik surya menjadi suram
ILUSTRASI. Dampak dari pandemi Corona (covid-19) ikut menghambat sejumlah proyek dan pengembangan pembangkit listrik surya.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dampak dari pandemi corona (covid-19) ikut menghambat sejumlah proyek dan pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Berdasarkan kajian dari Institute for Essential Service Reform (IESR), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi jenis EBT yang turut terhambat pengembangannya karena Corona.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengungkapkan, hingga akhir tahun 2019 dan awal 2020 sebelum adanya pandemi, perkembangan PLTS baik itu yang berskala besar maupun PLTS Atap telah menunjukkan tren yang positif. Sampai akhir tahun lalu, total kapasitas terpasang PLTS telah mencapai 152 Megawatt (MW).

Selain itu, PLN juga telah menghasilkan tender untuk proyek PLTS di Bali Barat dan Bali Timur berkapasitas 2x25 MW dengan harga di bawah US$ 0,059 per kWh. Menurut Fabby, keekonomian PLTS skala besar bertambah kompetitif dengan turunnya harga listrik lebih dari 40% dari proyek-proyek sebelumnya.

Baca Juga: Opsi pendanaan PLTU berkurang, bisa jadi peluang bagi pengembangan EBT

Dari sisi penggunaan PLTS Atap, pemaasangan secara on-grid juga tumbuh signifikan dengan adanya 1.580 pemasangan PLTS Atap hingga Desember 2019. Pada tahun ini, IESR memperkirakan perkembangan PLTS Atap kian cerah dengan prospek PLTS Atap di segmen komersial dan industri mencapai lebih dari 200 MW.

"Perkembangan PLTS di 2019 perkembangannya lebih positif. Prospek PLTS di awal 2020 sebenarnya juga cukup positif," kata Fabby dalam diskusi virtual yang digelar Selasa (21/4).

Namun, kondisinya menjadi berbeda setelah masa pandemi corona. Fabby menyebut, perkembangan PLTS, khususnya Atap bakal tertekan seiring dengan pelemahan ekonomi dan menurunnya tingkat pertumbuhan permintaan listrik. Apalagi, dengan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah, harga unit PLTS Atap pun naik sekitar 15%-20%.

Berdasarkan survei IESR terhadap perusahaan di sektor Engineering, Procurement, Construction (EPC) PLTS, permintaan PLTS atap skala rumah tangga pada Maret-April mengalami kontraksi hingga 50%-100%. Sementara untuk segmen komersial dan industri mengalami kontraksi 50%-70%.

"Outlook dalam 6 bulan ke depan sampai Kuartal III-2020 negatif, artinya tidak ada permintaan baru. Dalam kondisi sekarang lebih memilih menahan investasi sebagai dampak dari cash flow yang terganggu," ungkap Fabby.

Pertimbangan lainnya, imbuh Fabby, di tengah kondisi saat ini, perhitungan keekonomian PLTS Atap pun mengalami perubahan. Menurutnya, waktu payback investasi menjadi naik 1-2 tahun dari perhitungan awal.

Lebih lanjut, Fabby pun menaksir proyek PLTS ikut mengalami hambatan bahkan terjadi pemunduran jadwal proyek. Hal itu terjadi lantaran supply chain peralatan dan logistik yang terganggu Corona. Sebagai contoh, ia memperkirakan proyek PLTS Bali Barat dan Bali Timur akan mundur 3-6 bulan dari jadwal. Sementara pelaksanaan lelang proyek baru bisa tertunda 3-4 bulan.

"Perusahaan yang baru mulai menunggu sampai situasi reda. Proyek-proyek yang belum dieksekusi akan tertunda, semnatra yang sudah konstruksi akan mengalami kendala karena supply chain yang terganggu," sebutnya.

Baca Juga: Kencana Energi Lestari (KEEN) pastikan proyek pembangkit listrik EBT tetap berjalan




TERBARU

[X]
×