Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah Provinsi Bangka Belitung tengah merampungkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Zonasi tersebut akan mengatur penambangan timah di kawasan laut daerah tersebut.
Merespon zonasi itu, PT Timah Tbk (TINS) pun berkepentingan untuk mengamankan Izin Usaha Pertambangan (IUP) timah mereka agar tetap bisa ditambang. Sebab, tiga perempat IUP tambang laut yang dimiliki TINS berada di Bangka Belitung.
Baca Juga: Menteri BUMN Rini ajak lima BUMN garap proyek tambang di Madagaskar
Sekretaris Perusahaan TINS Abdullah Umar mengatakan, produksi bijih timah dari tambang laut berkontribusi signifikan terhadap TINS. Sebab, produksi bijih timah dari tambang laut mencapai 40% dari total produksi TINS secara keseluruhan. "Produksi laut vs darat (perbandingannya) sekitar 40% vs 60%," kata Abdullah saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (18/9)..
Abdullah menuturkan, total IUP laut yang dimiliki TINS sekitar 184.000 hektare (ha). Dari jumlah tersebut, sebanyak 139.662 ha atau sekitar 75,5% berada di laut Bangka Belitung.
Lebih lanjut, Abdullah mengungkapkan, 70% dari IUP tambang laut TINS di Bangka Belitung sudah masuk ke kawasan penambangan. Sementara 30% sisanya masih di luar zona penambangan. "Luas IUP yang tidak masuk dalam zona pertambangan sekitar 30% (dari 139.662 ha), 70% yang aman,"
Untuk itu, Abdullah menekankan bahwa pihaknya akan terus melakukan upaya supaya 30% IUP tambang laut TINS di Bangka Belitung tetap bisa ditambang. "Kita tetap berupaya melakukan pendekatan kepada pihak-pihak terkait agar IUP yang 30% itu bisa masuk ke pertambangan," terang Abdullah.
Upaya TINS tersebut mendapat dukungan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengungkapkan dua alasan mengapa pihaknya ingin IUP milik TINS itu tetap bisa ditambang.
Baca Juga: Ini faktor yang membuat neraca perdagangan Agustus surpus US$ 85,1 juta
Pertama, kata Yunus, IUP merupakan produk legal sehingga mesti diakui dalam zonasi. Kedua, Yunus mengatakan bahwa jika IUP TINS tidak dimasukan ke dalam kawasan yang bisa ditambang, maka hal itu akan mengurangi potensi produksi timah dan pendapatan negara.
Alhasil, Yunus pun menegaskan bahwa pihaknya tidak bersepakat jika IUP tambang laut TINS tersebut dikeluarkan dari kawasan yang bisa ditambang. "Sistem IUP harusnya diakui. (Jika tidak bisa ditambang) ada potensi timah dan pendapatan negara yang hilang. IUP (TINS) ini kan aset BUMN," kata Yunus.
Sebelumnya, pada Oktober tahun 2018 lalu, Kementerian ESDM bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menjalin sinergi terkait kegiatan penambangan timah di pesisir pantai dari 0 hingga 2 mil, yang notabene merupakan wilayah tambang milik PT Timah dari Kementerian ESDM.
Kala itu, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyatakan bahwa pada prinsipnya, pertambangan timah di laut itu tidak dilarang, asalkan metode dan teknologi yang dipakai dalam aktivitas penambangan tidak merusak lingkungan. Karenanya, TINS pun diminta untuk menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, yakni dengan metode borehole mining (BHM).
Terkait hal ini, Abdullah mengatakan, TINS telah mengimplementasikan metode BHM pada penambangan di darat. Hanya saja, untuk penambangan di laut masih dalam tahap pengembangan. "Kalau yang didarat sudah diimplementasikan, untuk BHM lay masih tahap pengembangan," katanya.
Baca Juga: Setelah larangan ekspor nikel, bagaimana nasib mineral mentah lain?
Sebelumnya, Direktur Utama TINS Riza Pahlevi mengatakan, penambangan timah laut itu nantinya akan serupa dengan sistem teknologi dalam pengeboran minyak dan gas di laut (off-shore). Riza menargetkan, teknologi tersebut sudah bisa diimplementasikan pada tahun 2019 ini.
"Tahun ini mudah-mudahan selesai (pengembangan teknologi), dan Itu sifatnya enviromental friendly," kata Riza.
Berdasarkan catatan Kontan.co.id, saat ini aktivitas operasi dan produksi penambangan laut TINS dilakukan secara organik dengan mengoperasikan empat kapal keruk dan 17 kapal isap produksi (KIP). Selain itu, aktivitas penambangan laut juga dilakukan secara anorganik dengan mitra tambang yang berjumlah 76 KIP yang dialokasikan 23 KIP di Provinsi Bangka Belitung dan 53 unit KIP di Kepulauan Riau dan Riau.
Menurut Direktur Keuangan PT Timah Tbk Emil Ermindra, pada tahun 2018, perolehan bijih timah yang bersumber dari laut sebesar 19.159 ton sn. Jumlah tersebut naik 7% dibandingkan tahun 2017 yang hanya mencapai 17.906 ton sn.
Baca Juga: Perang dagang mereda, harga nikel berpeluang menguat
Dilihat dari harga pokok perolehan (HPP), lanjut Emil, bijih timah yang dihasilkan dari aktivitas penambangan di laut relatif lebih murah sekitar 30%-35% dibandingkan bijih timah yang diperoleh dari darat. Sebabnya, dalam aktivitas penambangan darat terdapat unsur biaya pembebasan lahan yang relatif besar dan naik dari tahun ke tahun.
Emil mengatakan, pada tahun ini TINS menargetkan pertumbuhan perolehan bijih timah dari laut sebesar 22.000 ton sn atau naik 15% dibanding tahun 2018. "Karenanya saat ini PT Timah terus mengembangkan kapasitas produksi bijih timah dari laut, baik dari jumlah KIP yang beroperasi maupun teknologi yang digunakan," jelas Emil ke KONTAN, beberapa waktu lalu.
Adapun, Pemprov Bangka Belitung sendiri dikabarkan sedang merampungkan RZWP3K. Dalam zonasi tersebut, rencananya ada 4.140 ha kawasan pertambangan bijih timah di laut yang akan dihapuskan.
Baca Juga: Kementerian ESDM: Bijih Bauksit dan Timah Tetap Bisa Ekspor
Sayangnya, hingga tulisan ini diterbitkan, Kelompok Kerja RZWP3K yang juga Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Bangka Belitung Dasminto belum menjawab konfirmasi yang ditanyakan Kontan.co.id.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News