Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rapat Paripurna DPR akhirnya mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) alias UU Minerba, pada Selasa (12/5). Ketua DPR RI Puan Maharani yang memimpin Rapat Paripurna DPR tersebut mengesahkan perubahan UU Minerba setelah delapan dari sembilan fraksi di DPR menyatakan persetujuannya.
Dalam laporan hasil pembahasan tentang perubahan UU Minerba, Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mengungkapkan, revisi UU MInerba ini telah memulai proses penyusunan sejak tahun 2015. RUU Minerba lantas menjadi program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2015-2019 dengan menjadi prolegnas prioritas pada tahun 2015-2018.
Pada 5 Juni 2018, Presiden menunjuk wakil pemerintah untuk membahasan RUU MInerba yang ditugaskan kepada Menteri ESDM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, serta Menteri Hukum dan HAM. Kemudian, pada 13 Februari 2020, dibentuk Panitia Kerja (Panja) pembahasan RUU Minerba dan pembahasan sejumlah 938 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Baca Juga: Begini pengaturan soal hilirisasi dan divestasi dalam revisi UU Minerba
"Proses pembahasan DIM RUU Minerba dilaksanakan secara intensif dari 17 Februari 2020 hingga 6 Mei 2020," kata Sugeng.
Menurut Sugeng, RUU Minerba juga telah disinkronisasikan dengan RUU Cipta Kerja yang menghasilkan sejumlah penyesuaian yang berkaitan dengan (1) kewenangan pengelolaan pertambangan minerba, (2) penyesuaian nomenklatur perizinan, dan (3) kebijakan terkait divestasi saham.
"Khusus yang terkait divestasi saham, Komisi VII DPR RI bersepakat, pencantuman divestasi saham badan usaha asing sebesar 51% mutlak dicantumkan di dalam batang tubuh RUU," sebut Sugeng.
Secara keseluruhan, kata Sugeng, konsep RUU Minerba setelah dilakuakn harmonisasi dan sinkronisasi dengan RUU Cipta Kerja menghasikan perubahan sebagai berikut. Yakni, 2 bab baru sehingga menjadi 28 bab, 83 pasal yang berubah, 52 pasal tambahan/baru, dan 18 pasal yang dihapus. Sehingga total jumlah pasal menjadi 209 pasal.
"Kami menyadari bahwa RUU minerba ini belumlah menyenangkan semua pihak," kata Sugeng.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memaparkan sejumlah poin penting dalam revisi UU minerba ini.
Antara lain, penguatan peran BUMN melalui pengaturan bahwa eks WIUP dan Wilayah Izin Pertambangan Khusus (WIUPK) dapat ditetapkan sebagai WIUPK yang penawarannya diprioritaskan kepada BUMN, serta BUMN mendapatkan prioritas dalam pembelian saham divestasi.
Selanjutnya, kelanjutan operasi Kontrak Karya (KK)/Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
Baca Juga: Soal Revisi UU Minerba, APBI: Jaminan perpanjangan PKP2B penting bagi iklim investasi
Sementara terkait kewenangan pengelolaan pertambangan, telah disepakati bahwa kewenangan pengelolaan pertambangan diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Dengan pengaturan bahwa terdapat jenis perizinan pertambangan yang akan didelegasikan kepada pemerintah daerah, diantaranya perizinan batuan skala kecil dan Izin pertambangan rakyat.
Hal itu didasarkan pada sejumlah pertimbangan. Antara lain, pengendalian produksi dan penjualan terutama logam dan batubara sebagai komoditas strategis untuk ketahanan energi serta suplai hilirisasi logam.
Selain itu, penarikan kewenangan ke pusat untuk komoditas logam dan batubara lebih efektif. Sementara untuk bukan logam, batuan, Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dapat didelegasikan ke pemda.
Baca Juga: Pengamat hukum tambang: Isi revisi UU Minerba berlebihan
"Penarikan kewenangan pengelolaan pertambangan ke pusat tidak akan mempengaruhi pendapatan daerah yang berasal dari dana bagi hasil (DBH) pertambangan," ungkap Arifin.
Menurut Arifin, dalam RUU Minerba ini juga telah diatur kebijakan yang tegas tentang pelaksanaan kewajiban peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Pengaturan dan kebijakan terkait ini konsisten dengan esensi kebijakan peningkatan nilai tambah dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 dan putusan MK No. 10/PUU-XII/2014 bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
"Serta konsisten dengan adanya kewajiban pemegang IUPK eksisting untuk membangun fasilitas pemurnian paling lambat tahun 2023," ungkapnya.
Arifin bilang, RUU Minerba juga memberikan perhatian terhadap upaya perbaikan pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan.
Melalui RUU Minerba ini, imbuh Arifin, diharapkan dapat mengubah paradigma kegiatan usaha pertambangan minerba yang selama ini masih dianggap hanya berfokus pada penjualan raw material tanpa terlebih dahulu dilakukan peningkatan nilai tambah. Juga bisa memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan sektor pertambangan.
"Kami berharap RUU Minerba dapat menjawab permasalahan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara saat ini dan juga tantangan di masa yang akan datang," kata Arifin.
Baca Juga: Dapat jaminan perpanjangan izin, RUU Minerba jadi angin segar para taipan tambang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News