Reporter: Petrus Dabu | Editor: Edy Can
JAKARTA. Berbagai masalah terus mendera PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Setelah terlilit utang sekitar US$ 1 miliar dari PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), anak usaha PT Tuban Petrochemical Industries ini juga merugi akibat tak bisa menjual liquified petroleum gas (LPG) produksinya.
Pasalnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum memberikan perpanjangan izin ekspor LPG kepada TPPI. "Sejak dua bulan terakhir ini belum dikasih izin ekspor lagi," ujar Amir Sembodo, Direktur Utama PT Tuban Petrochemical Industries kepada KONTAN, Senin (3/10).
Sementara, PT Pertamina (Persero) juga belum bersedia membeli LPG TPPI. Menurut Amir, Pertamina enggan membeli dari TPPI lantaran kebutuhan LPG Pertamina yang sebesar 2,5 juta ton per hari sudah tercukupi. Di samping itu, Pertamina juga keberatan dengan harga jual LPG TPPI yang dinilai terlalu mahal.
Ini menyebabkan LPG TPPI sebanyak 300 ton yang diproduksi sejak 10 September lalu tak laku. Di waktu bersamaan, tangki penampungan LPG TPPI sudah penuh. Padahal, "Proses produksi harus berjalan terus selama 24 jam," ujar Amir. Akibatnya, TPPI terpaksa harus membakar kembali (flaring) LPG yang sudah dihasilkan itu.
Tak pelak, kondisi ini menyebabkan TPPI harus merugi US$ 150.000 per hari atau total US$ 9 juta. Padahal, Amir menerangkan, proses produksi TPPI harus terus berlangsung karena dalam waktu bersamaan, perusahaan juga menghasilkan produk petrokimia lain seperti paraksilin dan solar.
Bila produksi LPG dihentikan, maka produksi kedua produk itu juga otomatis berhenti. Padahal, TPPI tidak ingin kehilangan momentum harga paraksilin yang sedang bagus saat ini.
TPPI pun telah terikat kontrak penjualan solar dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Tak hanya itu, TPPI juga terikat kontrak pengadaan kondesat yang sudah dibayar di muka ke BP Migas. Kondensat merupakan bahan baku utama yang dibutuhkan TPPI untuk memproduksi petrokimia. Dalam kontrak tersebut, TPPI mendapat pasokan kondesat 20.000-30.000 barel per hari (bph).
Minta harga pasar
Menghadapi kondisi yang tidak menentu ini, Amir berharap Kementerian ESDM segera mengeluarkan izin ekspor LPG untuk TPPI. Amir berjanji, bahwa TPPI juga tidak bakal mengekspor LPG selamanya, tetapi hanya sementara sampai ada komitmen pembelian dari konsumen di dalam negeri.
Ia pun yakin, persoalan harga dengan Pertamina bisa dibicarakan lebih lanjut. Masalahnya, ia memandang alasan Pertamina tak mau membeli LPG TPPI bukan semata soal harga. "Pertamina juga terikat kontrak impor, kalau soal harga saya pikir bisa dirundingkan," ujarnya.
Dirjen Minyak dan Gas Bumi, Evita Herawati Legowo mengakui, pihaknya belum memberikan izin ekspor LPG kepada TPPI. "Belum turun," ujar Evita singkat. Sayang, dia enggan menjelaskan alasannya. Namun yang jelas, Evita pernah mengatakan akan memprioritaskan LPG untuk konsumsi di dalam negeri.
Evita menjelaskan, sebelumnya pemerintah memberikan izin ekspor LPG karena belum ada kajian harga dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Berdasarakan kajian BPKP, harga LPG yang pas berada di kisaran pasar cost price (CP) Aramco. Sementara, TPPI menjual LPG seharga CP Aramco plus US$ 140 per ton.
Wakil Presiden Komunikasi Pertamina, Mochamad Harun sendiri pernah mengatakan, perusahaan mau saja beli LPG TPPI asal dengan harga pasar. Pertamina biasanya membeli LPG seharga CP Aramco minus US$ 40 per ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News