Reporter: Arfyana Citra Rahayu, Filemon Agung | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kebutuhan panel surya atap di tengah transisi energi pada masa pandemi Covid-19 ini semakin mendapat tempat di hati rakyat. Ini terbukti dari semakin berkembangnya bisnis panel surya dan maraknya pengembang properti membangun rumah dilengkapi atap surya. Semua ini merespon permintaan masyarakat atas Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang semakin tinggi dan terus meningkat.
Kita ketahui bahwa Indonesia sangat kaya akan energi terbarukan dengan potensi lebih dari 400.000 Mega Watt (MW), sebanyak 50% diantaranya atau sekitar 200.000 MW adalah potensi energi surya.
Sementara pemanfaatan energi surya saat ini baru sekitar 150 MW atau 0,08% dari potensinya. Padahal, Indonesia adalah Negara khatulistiwa yang seharusnya bisa menjadi panglima dalam pengembangan energi surya.
Guna menumbuhkan minat pemakaian energi surya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyelesaikan revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 tahun 2018 tentang Penggunaan PLTS Atap.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Koservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan saat ini revisi Permen PLTS Atap sedang proses persetujuan Presiden. "Target rampung tentu setelah persetujuan presiden keluar, Insya Allah segera di bulan ini," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (2/9).
Dadan menyebutkan, ada beberapa poin yang tercantum dalam revisi Permen ESDM tentang PLTS Atap, berikut perinciannya;
1. Ketentuan ekspor listrik akan lebih besar dari yang sebelumnya 65% menjadi 100%
2. Kelebihan akumulasi selisih tagihan dinihilkan diperpanjang (dari semula pada bulan ke tiga menjadi pada bulan keenam)
3. Jangka waktu permohonan PLTS Atap lebih singkat, dari semula 15 hari menjadi maksimal 12 hari untuk yang dengan perubahan Project Based Learning (PJBL) dan maksimal 5 hari untuk yang tanpa perubahan PJBL.
4. Pelanggan PLTS Atap dan Pemegang Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTLU) dapat melakukan perdagangan karbon
5. Mekanisme pelayanan diwajibkan berbasis aplikasi (saat ini masih manual)
6. Perluasan tidak hanya pelanggan PLN saja tetapi pelanggan di wilayah usaha non-PLN ( saat ini hanya pelanggan PLN)
7. Adanya pusat pengaduan sistem PLTS Atap untuk menerima dan menindaklanjuti pengaduan atas implementasi PLTS Atap (saat ini belum ada)
Dadan mengatakan, pemanfaatan PLTS Atap diharapkan dapat mencapai 3,6 GW. Adapun, dengan jumlah ini maka penurunan emisi gas rumah kaca juga diharapkan dapat terjadi secara signifikan. "PLTS Atap kapasitas 3,6 GW bisa mengurangi potensi gas rumah kaca 4,58 juta ton," kata Dadan.
Selain itu, merujuk laporan International Renewable Energy (IRENA) pengembangan 3,6 GW PLTS Atap bakal berkontribusi pada penyerapan 121.500 ribu tenaga kerja. Selain itu, potensi meningkatnya investasi di kisaran Rp 45 triliun hingga Rp 63 triliun untuk pengembangan fisik.
Dadan menambahkan, bakal terjadi penghematan konsumsi batubara mencapai tiga juta ton per tahun seiring tingginya minat masyarakat dalam implementasi PLTS Atap.
Hal itulah yang membuat Kementerian ESDM juga mendorong penggunaan PLTS Atap di berbagai sektor perumahan, industri, dan perkantoran. Bahkan Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM juga telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia.
Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Paulus Totok Lusida mengatakan kerja sama yang sudah disepakati adalah pihak pengembang mengadakan sendiri (panel surya).
"Nah kalo mengadakan sendiri atau pengembang beli sendiri, tentu hitung-hitungannya jadi besar. Keperluan (panel surya) untuk satu properti hunian masih mahal sehingga kurang begitu diminati para end user. Kami bangun rumah sesuai permintaan end user," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (2/9).
Totok mengatakan, nilai panel surya yang saat ini masih relatif mahal membuat pihak pengembang masih berat untuk menjalankan dengan optimal. Namun dia tidak menampik bahwa sudah ada sebagian pengembang yang mulai menjalankan untuk rumah non-subsidi. Biasanya rumah tersebut untuk segmen menengah ke atas dengan konsentrasi wilayah di Jabodetabek.
Totok kembali menegaskan, meskipun beberapa pengembang sudah mulai menggunakan surya panel, tidak semua pelaku usaha bisa melakukan hal yang sama karena terganjal biaya yang mahal.
"Untuk menurunkan harga panel surya bisa dengan meningkatkan konten lokal atau switch bantuan pemerintah yang selama ini ada. Misalnya saja bantuan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum (PSU) dialihkan ke energi terbarukan, mestinya sih bisa," kata Totok.
Pengembang Ikut Tekan Emisi Karbon
Sementara itu, Presiden Direktur Paramount Land, Ervan Adi Nugroho memaparkan penggunaan PLTS atap atau solar panel saat ini memang semakin diminati masyarakat, karena selain berfungsi menekan produksi emisi karbon, juga bisa menghemat tagihan listrik.
"Hingga saat ini sudah ada tiga produk ruko dan satu cluster yang dikembangkan oleh Paramount Land, yang dilengkapi dengan solar panel sebagai PLTS. Ke depan kami berencana menerapkan di beberapa produk lainnya," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (2/9).
Klaster perumahan Paramount land yang dilengkapi dengan surya panel adalah Nara Village yang mengusung fitur canggih dalam mendukung gaya hidup sehat dan modern. Klaster ini berlokasi di Pagedangan, Tangerang. Harga rumah ini kisaran Rp 1,8 miliar.
Ervan mengatakan, penggunaan solar panel adalah wujud partisipasi untuk menjaga lingkungan tetap hijau dan dari sisi ekonomi dapat meringankan biaya operasional rumah tangga, bisnis, hingga kantor terkait biaya listrik.
Saat ini Ervan mengakui masih ada tantangan dihadapi, yakni biaya pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) pada atap bangunan yang masih mahal.
Namun, Ervan yakin dengan perkembangan teknologi yang makin maju dan efisien serta dukungan kebijakan Pemerintah untuk mengembangkan energi baru/ terbarukan, beberapa tahun mendatang penggunaan PLTS atap akan lebih murah biayanya sehingga dapat digunakan secara massal oleh masyarakat maupun pengembang.
Pengembang properti lainnya yang sudah mulai mengembangkan surya panel adalah PT Ciputra Development Tbk (CTRA).
Direktur Ciputra Development, Harun Hajadi memaparkan pihaknya membuka opsi pemasangan surya panel di produk yang sudah feasible. Namun, dia menegaskan saat ini belum semua produk CTRA bisa dipasang PLTS Atap.
"Tetapi yang sudah feasible sudah kami coba pasang surya panel. Namun, ini sifatnya opsional karena akan nambah biaya," jelasnya saat dihubungi terpisah.
Harun mengatakan, pertimbangan pemasangan surya panel tentu lebih ke arah preferensi konsumen dan konversi outputnya. Artinya luasan PLTS yang dibutuhkan dan konversi ke watts output. "Overtime menurut saya efisiensinya akan membaik," kata Harun.
Berbeda dengan kedua perusahaan sebelumnya, PT Metropolitan Land Tbk (MTLA) belum berencana menggunakan teknologi surya panel di produk perumahannya.
Direktur Metropolitan Land, Olivia Surodjo mengatakan saat ini pihaknya belum berencana menggunakan surya panel karena ongkos produksinya masih terlalu mahal untuk diterapkan di produk-produk MTLA.
"Kami memandang teknologi ini bagus dan dapat mendukung penghematan penggunaan energi. Namun jika harga masih terlalu tinggi, masih berat bagi kami untuk diterapkan pada produk perumahan kami," ujar Olivia.
Olivia berharap, di masa mendatang ketika teknologi semakin lebih murah, pihaknya bisa menggunakannya sebagai fitur tambahan di produknya.
Persaingan Bisa Turunkan Harga Instalasi
Semakin diminatinya PLTS Atap membuat persaingan di bisnis ini semakin ketat. Marketing & Corporate Sales Director PT ATW Solar Wilson Tanuwijaya mengungkapkan, permintaan panel surya di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun belakangan.
Adapun, target pemasangan 200 MW ini meningkat signifikan dari realisasi pemasangan panel surya oleh ATW Solar yang kini mencapai sekitar 30-an MW.
"Targetnya itu dalam tiga tahun sampai 2023 kita bisa menginstal kurang lebih 200 MW," kata Wilson dalam Wawancara Ekslusif bersama Kontan, Kamis (2/9).
Dalam upaya mencapai target tersebut, sejumlah strategi telah disiapkan manajemen antara lain dengan menyasar ragam sektor konsumen, ragam layanan hingga mendorong ketersediaan fasilitas perbankan.
Wilson menjelaskan, selama ini ATW Solar melayani instalasi panel surya untuk kelompok pelanggan industri. Menurutnya, saat ini cukup banyak pelanggan industri yang tertarik menggunakan PLTS Atap sebagai sumber listrik.
Selain demi mendorong energi yang lebih hijau, penggunaan PLTS Atap juga dinilai dapat menciptakan efisiensi dari biaya listrik yang harus ditanggung. "Banyak perusahaa multinasional dan industri seperti Kalbe Farma telah repeat order ke kami ketika memesan solar panel untuk pabrik mereka," ujar Wilson.
Wilson menambahkan, layanan instalasi terus diperluas. Saat ini tercatat, ATW Solar juga terlibat dalam proyek penyediaan PLTS di beberapa kawasan industri.
Selain pada kawasan industri, Wilson memastikan layanan jasa instalasi juga menyasar sektor residensial. "Salah satu proyek kami yang terbesar ada di Summarecon Serpong dan Bekasi dimana instalasi terpasang untuk sekitar 3.000 hunian," imbuh Wilson.
Bahkan, pihaknya juga membuka kemungkinan bagi individu untuk dapat memanfaatkan layanan instalasi yang ada.Selain berfokus pada PLTS Atap, ATW Solar pun juga berfokus pada instalasi PLTS ground mounted. Kendati demikian, diakui Wilson mayoritas konsumen saat ini datang dari produk PLTS Atap.
Demi semakin meningkatkan minat pasar pada PLTS Atap, ATW Group melalui lini bisnis ATW Investasi Hijau bahkan membuka layanan penyewaan PLTS.
Business Development Director ATW Investasi Hijau Victor Samuel menjelaskan layanan penyewaan PLTS Atap ini memungkinkan pelanggan kelompok industri dan komersial untuk melakukan penghematan biaya. Nantinya, pelanggan yang tertarik dapat menikmati listrik dengan PLTS Atap tanpa harus menanggung investasi.
"Kami yang investasi, kami yang beli dan sediakan alat. Penghematan (listrik) dibagi. Pelanggan bisa menghemat listrik tanpa resiko karena resikonya semua di kami," kata Victor.
Layanan yang telah dimulai sejak tahun lalu ini kapasitasnya kini mencapai 4 MW. ATW Grup menargetkan tambahan 10 MW untuk proyek yang sedang berjalan.
Victor optimistis layanan ini memiliki potensi yang besar mengingat dalam situasi pandemi covid-19 tidak banyak perusahaan yang berani mengeluarkan investasi dalam jumlah besar. Dalam layanan sewa PLTS Atap ini, skema kontrak yang diberlakukan yakni kontrak jangka panjang dengan durasi umumnya 15 tahun sampai 25 tahun.
Bahkan, ada juga yang kontraknya mencapai 30 tahun mengingat ada kemungkinan komponen solar panel masih bisa digunakan kendati masa garansi hanya 25 tahun. Semakin panjang durasi kontrak maka biaya sewa menjadi lebih murah.
Wilson menjelaskan, saat ini ada sejumlah peluang bisnis yang juga disasar ATW Group, selain jenis PLTS Atap dan PLTS Ground Mounted, pihaknya juga tengah melakukan feasibility study (FS) untuk potensi pengembangan PLTS Floating.
"ATW Group sedang melakukan feasibility study di waduk Cikampek. ATW Group juga sudah mulai menjalin kerja sama dengan perusahaan lokal dan asing untuk menyediakan komponen PLTS floating," jelas Wilson.
Adapun, beberapa paket instalasi ditawarkan oleh ATW Group dengan paket termurah di kisaran Rp 13 juta hingga Rp 15 juta untuk dua panel surya.
ATW Group cukup optimis dengan pengembangan PLTS Atap di Indonesia. Hal ini didukung dengan mulai hadirnya sejumlah regulasi yang dinilai berpotensi mendorong PLTS Atap kedepannya.
Sejumlah regulasi tersebut antara lain, Rencana Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dan Revisi Permen ESDM tentang PLTS Atap yang kini masih berproses.
Chief Commercial Officer PT Surya Utama Nuansa atau SUN Energy, Dion Jefferson memaparkan, seiring dengan semakin dikenalnya solar panel pihaknya merasakan terjadi peningkatan permintaan yang signifikan.
"Kami mencatatkan kenaikan permintaan hingga 4 kali lipat dibandingkan 2020. Di sepanjang tahun ini, kami menargetkan penjualan bisa tumbuh sampai empat kali lipat dibandingkan tahun lalu," jelasnya kepada KONTAN, kemarin.
Saat ini solar panel yang dipasang SUN Energy, sebagian komponennya dipasok dari lokal dan impor. Dion bilang, tergantung kesepatakan dengan pelanggan. Ke depannya Dion melihat, adanya revisi peraturan pemerintah yang semakin mendukung solar panel, industri ini akan sangat berkembang hingga jangka panjang nanti.
Baru-baru ini, SUN Energy dan PT Agra Surya Energy memandatangani perjanjian kerja sama dengan PT Widodo Makmur Perkasa (WMP Grup). SUN Energy dan Agra Surya akan menyediakan layanan solar panel di beberapa fasilitas produksi WMP Grup.
Penandatanganan kerjasama ini merupakan realisasi tahap pertama dari rencana pengaplikasian energi terbarukan di fasilitas milik WMP Grup. Tahap awal, WMP Grup akan mengaplikasikan infrastruktur solar panel dengan kapasitas 37,7 MWp yang akan rampung pada Q1 2022, dari total target penggunaan energi terbarukan sebesar 158 MWp di tahun 2026.
Direktur PT Agra Surya Energy, Harvey Tjokro mengatakan, pihaknya akan memulai pembangunan PLTS ini pada tahun 2021, dengan nilai investasi mencapai Rp 900 miliar. "Pembangunan PLTS ini berpotensi mengurangi Emisi Karbon Sebesar 126.000 Ton CO2 per tahun, memberikan efesiensi secara signifikan terhadap biaya produksi dan operasional," ujarnya.
Raditya Arga Laksmana, Marketing Supervisor SolarKita menjelaskan permintaan pemasangan solar panel secara pribadi dan developer sudah seimbang.
"Selain dua pelanggan itu, permintaan yang kami lihat naik signifikan dari 2019 hingga sekarang adalah dari sektor komersial seperti bangunan kantor, gedung, pabrik, gudang," jelasnya kepada KONTAN, Jumat (3/9).
Tumbuhnya animo masyarakat Indonesia terhadap PLTS Atap, salah satunya dapat dilihat dari banyaknya orang yang menghubungi SolarKita untuk survey dan mengenal lebih jauh tentang produk solar panel. "Asumsi kami di sepanjang tahun ini mungkin akan ada kenaikan orang yang menghubungi kami untuk survey hingga 50%-60%," kata Radit.
Di sepanjang 2021, SolarKita berharap bisa membangun PLTS Atap di 36 lokasi. Adapun sampai dengan kuartal I 2021, pihaknya telah mendapatkan 13 pelanggan baru.
Perihal target, pada dasarnya Solarkita berpatokan dengan target pemerintah yakni penggunaan energi ramah lingkungan ini dapat berkontribusi hingga 23% di tahun 2025. Radit menegaskan, Solarkita ingin menjadi salah satu instansi yang dapat berpartisipasi besar dalam pencapaian target tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News