Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perubahan regulasi dinilai sangat diperlukan dalam rangka mendorong Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang pada akhirnya mewujudkan transisi energi.
Hal itu disampaikan Ketua Komite Tetap Energi Terbarukan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Muhammad Yusrizki.
Dia bilang, transisi energi tidak hanya berhenti pada teknologi pembangkitan atau bagaimana memadukan energi fosil dan energi EBT. Tidak ada yang menyangkal bahwa aspek pembangkitan punya peranan penting, tetapi kebutuhan akan pembangkitan listrik tidak berdiri dalam ruang hampa.
"Teknologi tersebut harus didukung dengan regulasi yang mendukung ekosistem transisi energi,” katanya saat peluncuran Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022-Institute for Essential Services Reform (IESR) seperti dikutip dalam keterangan resminya, Jumat (24/12).
Baca Juga: Menteri ESDM: Masih Ada Gap Kebutuhan Investasi Sektor Migas
Yusrizki mengapresiasi IESR atas konsistensinya sebagai salah satu bagian dari masyarakat sipil dalam mengawal agenda transisi energi di Indonesia yang dinilai sangat penting dan akan menjadi salah satu nafas perekonomian Indonesia selama beberapa dekade ke depan.
Dia yakin asosiasi dan pemangku kepentingan lain banyak yang memiliki pemahaman yang lebih komprehensif mengenai regulasi spesifik apa yang harus diubah atau diperbaiki, terutama jika aturan tersebut menyangkut aspek teknis atau operasional.
Namun, Kadin menekankan pentingnya peraturan yang memberikan korelasi antara teknologi pembangkitan dan emisi karbon yang dihasilkan.
Yusrizki menambahkan, target utama transisi energi adalah menurunkan emisi karbon hingga mencapi net zero emission. Dalam konteks transisi, apabila kita masih memerlukan listrik dari energi fosil dengan pertimbangan security dan reliability merupakan hal yang wajar dari sisi teknis .
“Akan tetapi jika kita memiliki formula harga yang terhubung dengan tingkat emisi, terutama dalam siklus perencanaan ketenagalistrikan, otomatis harga tersebut tidak hanya merefleksikan kepentingan pasokan listrik tetapi juga tingkat emisi,” timpalnya.
Dia memberi contoh apabila memang Indonesia masih membutuhkan PLTU batubara untuk alasan stabilitas sistem, maka bisa saja PLN tetap menjalankan PLTU batubara tetapi harga listrik dari PLTU batubara tersebut disesuaikan dengan tingkat emisi yang dihasilkan.
Menggunakan pola pikir seperti ini tentu saja sumber-sumber EBT akan sangat bersaing dengan emission adjusted price dari PLTU.
Baca Juga: 3 Tahap Penghapusan Pertalite dan Premium, Bocoran dari Pertamina
Saat ini harga jual listrik EBT selalu dibandingkan dengan BPP nasional atau setempat. BPP banyak dibentuk oleh pembangkit listrik tenaga fosil tanpa memperhitungkan emisi gas buang.
Sehingga sampai hari ini, kata Yusrizki, konteks perencanaan dan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan masih berpatokan kepada satu faktor yakni harga. Emisi sama sekali belum diperhitungkan sebagai faktor dalam perencanaan.
Yusrizki menegaskan bahwa belum terwakilinya emisi dalam siklus perencanaan infrastruktur ketenagalistrikan yang membuat dirinya menekankan perlunya revolusi sektor ketenagalistrikan untuk mendukung agenda transisi energi Indonesia.
“Saya yakin jika revolusi ini terjadi maka peraturan-peraturan operasional, misalnya dalam tubuh PLN, akan beradaptasi dengan perubahan ini,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News