Reporter: Dani Prasetya | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Penghapusan tarif preferensi bagi negara berkembang (generalised system of preference/GSP) dari Uni Eropa (UE) bakal berdampak pada pertumbuhan industri di dalam negeri.
Dampak paling besar akan terasa pada usaha kecil dan menengah (UKM). Sektor yang sebagian besar bergerak di produksi mebel dan kerajinan ini mengandalkan UE sebagai salah satu tujuan ekspor utama.
"Kondisi ini mengharuskan pelaku usaha merevisi target ekspornya tahun depan," ucap Dirjen Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian Euis Saedah, usai pameran Himpunan Perajin Indonesia (Himpi), Selasa (13/12).
Dia mengatakan, penghapusan tarif preferensi itu merupakan konsekuensi dari rencana UE mereposisi kondisi keuangannya yang tengah terpuruk. Akibatnya, semua keistimewaan dan kemudahaan yang biasa diberikan terhadap 19 negara berkembang termasuk Indonesia terpaksa ditiadakan.
Efeknya tentu saja berpengaruh terhadap tingkat daya saing produk Indonesia yang bakal menurun. Sebab, sebelumnya produk Indonesia mendapat tarif preferensi sebesar 0%-5%, tapi kemudian keistimewaan itu ditiadakan. Maka, bea masuk yang baru akan ditanggung oleh produk Indonesia.
Ketua Himpi, Siti Suprapti, menambahkan, efek penghapusan tarif preferensi itu akan lebih dominan berdampak terhadap pihak ketiga yang mengekspor produk kerajinan asal Indonesia. "Kalau perajin kita kurang banyak ekspor langsung, biasanya mereka menjual kepada pihak ketiga untuk kemudian diekspor," kata Siti.
Untuk mengurangi dampak penghapusan tarif preferensi ini, UKM Indonesia harus mencari alternatif tujuan ekspor menuju pasar nontradisional. Upaya itu bakal mendapat dukungan dari pemerintah melalui beberapa perhelatan yang akan dilakukan di target ekspor baru. Contohnya, Kementerian Perindustrian berniat menggelar perhelatan produk di Timur Tengah pada 2012.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News