Reporter: Dani Prasetya | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Kementerian Perdagangan (Kemendag) belum menentukan strategi untuk menindaklanjuti penghapusan penurunan tarif ekspor yang dialokasikan pada negara berkembang (Generalized System of Preferences/GSP) dari Uni Eropa (UE).
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengaku, masih mendata dampak penghapusan GSP itu terhadap ekspor Indonesia. "Kita juga masih lihat penghapusan itu berdampak pada sektor apa," ungkapnya, Senin (12/12).
Pemberian fasilitas GSP itu, seperti diketahui, berdampak pada tarif komoditi ekspor Indonesia menuju Uni Eropa. Apabila insentif itu dicabut maka akan menekan ekspor Indonesia dalam berbagai bentuk. Apalagi, tanpa pencabutan GSP pun, ekspor beberapa komoditi seperti tekstil dan mebel terpuruk karena krisis utang di kawasan itu.
Oleh karena itu pemerintah mengupayakan diversifikasi pasar sambil tetap menjaga negara tujuan ekspor yang ada. Lagi pula, penghapusan fasilitas itu tidak hanya dialami Indonesia. Uni Eropa mencabut GSP pada 19 negara berkembang.
Namun, Indonesia masih bisa sedikit bernapas karena Amerika Serikat (AS) kembali memberlakukan penurunan tarif yang dialokasikan pada negara berkembang, setelah sebelumnya sempat dihentikan.
Kemendag mendata sekitar 25%-30% ekspor Indonesia menuju AS yang mendapat fasilitas preferensi tersebut. GSP itu memungkinkan berbagai produk manufaktur Indonesia mendapat akses masuk AS dengan bea masuk lebih rendah.
Kemendag menjanjikan penyelesaian prosedur internal agar tidak mengganggu ekspor Indonesia. Fasilitas GSP yang diberikan terhadap negara berkembang itu dapat mengurangi beban tarif dalam transaksi perdagangan. Akhirnya, melalui pemungutan suara kongres, Indonesia kembali mendapatkan fasilitas preferensi itu.
Sebelum diputuskan realisasi pelaksanaan fasilitas GSP, Kemendag pernah meminta agar ada kejelasan periode waktu implementasi. Sebab, pemberlakuan fasilitas itu sempat tertunda beberapa waktu lalu akibat adanya pencabutan GSP terhadap produk asal Indonesia yaitu plastic tape dan aluminum alloy.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Deddy Saleh, menambahkan, persentase pengurangan tarif bea masuk tidak akan sama untuk semua produk. "Tergantung produknya. Ada yang 5%, ada juga yang 0%," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News