Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
Kata Mukti, pola kemitraan dan dasar hukum hingga saat ini yakni, Program PIR dengan perusahaan inti PTP (NES, PIR Khusus dan PIR Lokal), Pola PIR-Trans dengan Perusahaan Swasta dan BUMN sebagai inti, Pola PIR KKPA, Revitalisasi Perkebunan, Peremajaan Sawit Rakyat.
"PIR sukses mengubah komposisi luas lahan sawit yang dimiliki oleh Rakyat, dari hanya 6.175 Ha di tahun 1980 menjadi 5.958.502 Ha ditahun 2019 di Indonesia merujuk Statistik Kelapa Sawit Indonesia," tutur Mukti.
Baca Juga: Airlangga Hartarto sebut penyaluran KUR Pertanian telah capai Rp 42 triliun
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, menambahkan secara nyata kemitraan memang sangat dibutuhkan pekebun sawit. Terlebih khusus untuk petani swadaya yakni petani yang kelola sendiri, mayoritas petani swadaya juga belum bermitra dengan perusahaan. Sedangkan pekebun plasma, umumnya sudah mempunyai orang tua asuh yakni perusahaan inti.
Persoalan yang dialami pekebun swadaya adalah produktivitas tanaman rendah. Hal ini karena banyak pekebun swadaya yang menggunakan bibit tidak sesuai (tidak unggul), SDM petani juga pengetahuannya rendah, tidak mendapat pendampingan dari pemerintah.
Termasuk anggaran dari pemerintah juga minim untuk memberikan pendampingan kepada pekebun swadaya. Kelembagaan petani juga tidak ada, sehingga menyulitkan untuk pendampingan dan kemitraan. “Banyak petani juga tidak mau berorganisasi, karena ada trauma dalam berorganisasi. Kenapa petani tidak mau bermitra? Karena kerap petani disalahkan,” katanya.
Selanjutnya: Jurus Austindo Nusantara Jaya Menggenjot Bisnis Kedelai Edamame
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News