kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Usulan revisi sistem penetapan BK CPO masih cukup alot


Minggu, 30 Januari 2011 / 10:47 WIB
Usulan revisi sistem penetapan BK CPO masih cukup alot


Reporter: Herlina KD | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Usulan perubahan penetapan bea keluar (BK) untuk CPO dari sistem progresif menjadi sistem tetap nampaknya masih cukup alot. Pasalnya, salah satu tujuan penetapan BK untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri.

Wakil Menteri Pertanian Bayu Krishnamurti mengungkapkan, tujuan dari pemberlakuan BK CPO secara progresif adalah untuk menjaga kenaikan harga CPO di dalam negeri lebih rendah ketimbang harga CPO di luar negeri.

"Kalau BK diberlakukan secara tetap, maka kenaikan harga di dalam negeri akan mengikuti kenaikan harga CPO internasional," kata Bayu akhir pekan lalu.

Meski begitu, Bayu setuju jika BK CPO direvisi. Pertimbangannya, situasi saat ini sudah berbeda dengan 2007 ketika aturan itu diberlakukan. Saat ini produksi CPO Indonesia sudah mencapai 21 juta ton, naik dari 15 juta ton pada 2007 lalu.

Sementara konsumsi CPO di dalam negeri tidak berubah, sekitar 4,5 juta ton - 5 juta ton. "Padahal, awalnya kita berekspektasi akan ada lompatan konsumsi CPO ketika ada mandatori ke biofuel," jelas Bayu. Selain itu, akibat cuaca ekstrim, semua harga komoditas ikut bergejolak, harga CPO bahkan hampir mencapai US$ 1.300 per ton.

Sebelumnya, kalangan asosiasi, baik petani maupun pengusaha kelapa sawit meminta pemerintah mengubah skema BK CPO dari sistem progresif menjadi sistem tetap. Alasannya, pemberlakuan sistem progresif justru membuat harga CPO turun. Tak hanya itu, harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani juga ikut melorot.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjat mengatakan, pemberlakuan BK secara progresif membuat pengusaha mengenakan BK itu kepada petani. "Sekitar 10% dari BK yang dikenakan pengusaha itu dibebankan kepada petani," ungkapnya, pekan lalu.

Sayangnya, lanjut Bayu, selama tujuan dari BK untuk mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri, skema yang bisa diterapkan adalah BK progresif. Maka, untuk menghindari penurunan TBS di tingkat petani, seharusnya pengusaha tidak langsung membebankan kepada petani, melainkan membagi keuntungan dengan petani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×