Reporter: Sri Sayekti | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Republik Indonesia menyatakan komitmen kuat untuk memimpin penguatan kolaborasi negara-negara Selatan (Global South) dalam menghadapi disrupsi digital yang kian didominasi oleh raksasa teknologi global.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria menyatakan upaya ini ditujukan agar negara-negara Global South bersatu dan berkolaborasi dalam merumuskan regulasi kecerdasan artifisial atau Artificial Intelligence (AI) yang adil dan berdaulat.
“Indonesia punya komitmen kuat untuk mendorong kolaborasi Global South. Saat bertemu Direktur Jenderal UNESCO, Gabriel Ramos, setahun lalu, beliau justru meminta Indonesia mengambil peran memimpin dialog negara Selatan,” jelasnya dalam pertemuan dengan tiga tokoh usai Konferensi CTRL+J APAC di Jakarta Pusat, Selasa (22/07/2025).
Tiga tokoh itu antara lain, Direktur AI, Emerging Tech & Regulation, International Fund for Public Interest Media (IFPIM) APAC, Irene Jay Liu; Executive Director of the Associação de Jornalismo Digital (Ajor) Brasil, Maia Fortes; dan Head of GIBS Media Leadership Think Tank South Africa, Michael Markovitz.
Baca Juga: Incar Posisi Pemimpin AI di ASEAN, Komdigi Proyeksikan Batam Jadi Simpul Strategis
Menurut Nezar, Indonesia telah mengajukan diri sebagai tuan rumah UNESCO Global Forum for Ethics of AI tahun 2026. Dalam forum itu, Nezar mengusulkan diselenggarakannya pertemuan negara-negara Selatan untuk secara khusus membahas kedaulatan AI, dan peran jurnalisme di tengah disrupsi AI.
“Yang kita butuhkan saat ini adalah kemauan politik yang kuat dari negara-negara Selatan. Kita harus punya instrumen untuk duduk bersama dan berdialog dengan para raksasa teknologi, guna menciptakan ekosistem digital yang sehat dan adil, termasuk bagi jurnalisme berkualitas,” tegasnya.
Nezar juga mengungkap pertemuan dengan Utusan Teknologi PBB Amandeep Singh Gill, beberapa waktu lalu, yang menekankan urgensi kerja sama lebih erat antar negara berkembang dalam menghadapi regulasi global AI yang masih dalam tahap awal.
“Hingga kini, belum ada regulasi permanen soal AI. Ini momentum emas bagi negara-negara Selatan untuk bersama-sama menyusun sikap, terutama soal kedaulatan digital,” tandasnya.
Baca Juga: Cetak Talenta Data Digital, Komdigi dan DQLab Luncurkan Pelatihan Gratis
Ia menyebut bahwa regulasi AI saat ini baru berada di level dekrit presiden seperti di AS, atau dalam bentuk awal undang-undang seperti AI Act di Uni Eropa dan kebijakan di Korea Selatan. Dalam konteks ini, negara-negara Global South dinilai belum memiliki ruang advokasi yang cukup kuat.
Menanggapi inisiatif dari delegasi Afrika Selatan, Nezar juga menyoroti arti penting memanfaatkan forum M20, yaitu Pertemuan Menteri Komunikasi negara anggota G20, yang akan digelar tahun depan.
“Forum M20 bisa jadi momentum penting. Tapi kita butuh lebih dari sekadar pernyataan politik. Kita butuh komitmen nyata, misalnya membentuk sekretariat atau forum tetap yang bisa menyuarakan posisi kita secara kolektif menghadapi ekosistem digital yang timpang,” ungkapnya.
Dalam berbagai forum global mengenai AI, Indonesia menegaskan kesiapan menjadi penghubung dialog strategis di kawasan, tidak hanya untuk memperjuangkan hak-hak penerbit, tetapi juga untuk membangun tata kelola AI global yang inklusif, etis, dan setara.
Baca Juga: Merasakan Manfaat Kecerdasan Buatan dan IoT, Masyarakat Bisa Berinteraksi Langsung
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News