Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. PT Vale Indonesia Tbk (INCO) membukukan kerugian sebesar US$ 15,3 juta pada kuartal II-2017. Berdasarkan laporan keuangan Vale yang diterima KONTAN pada Senin (7/8), perusahaan rugi meski pendapatan perusahaan terhadap kuartal I naik tipis 2,8% menjadi US$ 148 juta dari US$ 143,9.
Dengan demikian, perusahaan tambang ini berencana untuk tetap meningkatkan efisiensi. Sementara itu, tercatat kas dan setara kas perseroan mengalami peningkatan dari US$ 235,5 juta pada 31 Maret 2017 menjadi US$ 260,7 juta pada 30 Juni 2017.
"Saat ini arus kas negatif. Kami bersyukur masih bisa mempertahankan arus kas," terang Direktur Keuangan Vale Indonesia, Febriany Eddy, di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (7/8).
Dia mengatakan, perusahaan merugi karena harga nikel anjlok. Dari datanyam, paling tidak 25% produsen nikel di dunia beroperasi dengan arus kas negatif.
"PT Vale Indonesia sendiri masih dapat mempertahankan arus kasnya, walaupun membukukan rugi pada enam bulan pertama tahun 2017 ini," terangnya.
Adapun selama April-Juni lalu, Vale memproduksi 20.107 ton nikel, meningkat 17% dibanding produksi kuartal I-2017 sebesar 17.224 ton. Secara year on year, produksi kuartal II tahun ini juga lebih tinggi 4% dibanding produksi kuartal II-2016 yang mencapai 19.362 ton.
Pada tahun 2017, Vale berencana memproduksi sekitar 80.000 ton nikel matte. Secara bersamaan, perseroan juga akan tetap fokus pada insiatif penghematan biaya untuk mempertahankan daya saing.
Terkait dengan harga nikel yang masih rendah, Febriany menambahkan dalam beberapa minggu terakhir terjadi perbaikan indikator-indikator makro ekonomi di China yang membantu meningkatnya harga nikel walaupun tidak banyak. Kenaikan harga ini sebenarnya bisa lebih tinggi, namun saat ini tertekan dengan proyeksi volume bijih ekspor dari lndonesia.
"Kami sangat prihatin mengingat bijih nikel lndonesia yang begitu berharga dan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui diperbolehkan untuk diekspor kembali dengan nilai yang rendah. Hal ini tidak sejalan dengan visi pemerintah untuk menciptakan nilai tambah dalam negeri," tegasnya.
Khusus untuk nikel, kata Febriany, Indonesia sebenarnya mempunyai posisi yang sangat kuat untuk membuat investor untuk menanamkan modalnya di dalam negeri dalam bentuk pembangunan smelter. Hal ini bisa dilihat bahwa sejak dilarangnya ekspor bijih nikel mentah sampai akhir tahun lalu, telah terjadi paling tidak investasi senilai US$ 6 milliar.
"Ekspor dari Indonesia tidak bisa dianggap remeh, jika dikalikan bisa mencermian 5% suplai dunia, ini yang dikhawatirkan. Januari dikeluarkan kebijakan sampai juli izin 8 juta ton walaupun realisasi minim tapi suplai demainnya sudah dimasukan," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News