kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   6.000   0,39%
  • USD/IDR 16.200   -65,00   -0,40%
  • IDX 7.080   -2,93   -0,04%
  • KOMPAS100 1.048   -3,07   -0,29%
  • LQ45 822   1,36   0,17%
  • ISSI 211   -2,01   -0,94%
  • IDX30 422   2,45   0,58%
  • IDXHIDIV20 505   4,21   0,84%
  • IDX80 120   -0,32   -0,26%
  • IDXV30 123   -1,69   -1,35%
  • IDXQ30 140   1,02   0,74%

Wacana Pengurangan Sektor Penerima HGBT Muncul, Pelaku Usaha Terancam Merugi


Selasa, 07 Januari 2025 / 20:00 WIB
Wacana Pengurangan Sektor Penerima HGBT Muncul, Pelaku Usaha Terancam Merugi
ILUSTRASI. Belum usai masalah tingginya harga gas komersial, kini pemerintah justru berwacana untuk mengurangi sektor penerima HGBT. ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/aww.


Reporter: Diki Mardiansyah, Dimas Andi | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum usai masalah tingginya harga gas komersial, kini pemerintah justru berwacana untuk mengurangi sektor penerima Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). 

Seperti yang diketahui, program gas murah melalui HGBT untuk tujuh sektor industri telah berakhir pada 31 Desember 2024. Sejauh ini, belum ada kepastian atas kelanjutan program tersebut. Justru, para pelaku usaha harus membayar Harga Gas Regasifikasi dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) sebesar US$ 16,67 per MMBTU dari 1 Januari sampai 31 Maret 2025.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, saat ini pemerintah sedang mengevaluasi program HGBT untuk tahun 2025. Evaluasi ini bertujuan untuk memastikan kebijakan tersebut tetap relevan dalam mendukung sektor industri prioritas, terutama dalam meningkatkan daya saing secara efisien.

Dari situ, tidak menutup kemungkinan bagi pemerintah untuk melakukan pengurangan perusahaan-perusahaan penerima HGBT. Dalam hal ini, jika suatu perusahaan sudah mencapai Internal Rate of Return (IRR) yang bagus, ada kemungkinan pemerintah akan mengeluarkan perusahaan tersebut dari daftar penerima HGBT. 

"Namun, jika masih butuh dukungan, dan IRR-nya belum optimal, tentu kami pertahankan,” ungkap dia, Selasa (7/1).

Baca Juga: Kementerian ESDM Evaluasi Sektor Penerima Harga Gas Murah

Tidak hanya itu, Bahlil juga menyebut ada kemungkinan sektor industri penerima HGBT akan dipangkas, tergantung dari hasil evaluasi pemerintah. Namun, ia menekankan bahwa sampai saat ini belum ada keputusan final.

“Ada kemungkinan berkurang, tetapi ini masih dalam pembahasan dan belum kami putuskan,” jelas dia.

Bahlil memastikan, evaluasi terhadap program HGBT didasarkan pada prinsip alokasi gas bumi yang lebih efektif untuk sektor industri yang benar-benar membutuhkan, tanpa mengurangi dampak positif kebijakan bagi pertumbuhan industri nasional. Pemerintah juga selalu mendengar masukan dari para pelaku usaha dalam rangka evaluasi program HGBT.

Sebagai pengingat, tujuh sektor industri yang selama ini menerima HGBT antara lain industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet.

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan mengatakan, tidak sepatutnya pemerintah mengurangi sektor industri penerima HGBT. Hal ini jelas bertentangan dengan ambisi pemerintah yang mengejar pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 8,3% pada 2027. 

"Untuk mencapai target tersebut, kebijakan yang terbukti efektif harusnya diperkuat, salah satunya HGBT," tegas dia, Selasa (7/1).

Yustinus menambahkan, sudah sepatutnya sumber daya gas bumi yang melimpah di Indonesia dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan dalam negeri. Sejauh ini, justru Indonesia masih gencar mengekspor gas di saat masih ada pelaku usaha nasional yang kesulitan mendapat pasokan gas secara layak.

Di sisi lain, FIPGB memaklumi jika pemerintah hendak mengeluarkan beberapa perusahaan dari daftar penerima HGBT dengan berbagai pertimbangan tertentu. Misalnya, perusahaan industri tersebut terbukti tidak memenuhi kriteria dalam memberikan manfaat atas program HGBT, tidak lagi menyerap gas karena beralih ke energi alternatif, serta tidak beroperasi lagi.

Kebijakan ini sebenarnya sudah pernah dilakukan pemerintah ketika menerbitkan Keputusan Menteri ESDM No. 255/2024, di mana pemerintah melakukan pengurangan perusahaan penerima HGBT sekaligus menambah perusahaan baru sebagai penerima gas murah.

Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) juga mendesak pemerintah untuk melanjutkan program HGBT. Sebab, tujuh sektor industri yang selama ini menerima HGBT telah mempekerjakan ratusan ribu karyawan secara langsung. 

Ketua Umum AKLP Putra Narjadin mengatakan, pemerintah harus sadar bahwa harga gas bumi di Indonesia masih tergolong mahal dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Misalnya, Malaysia (US$ 4,5 per MMBTU), Thailand (US$ 5,5 per MMBTU), dan Vietnam (US$ 6,39 per MMBTU).

Kondisi ini cukup ironis mengingat Indonesia merupakan negara dengan sumber daya gas bumi terbesar di Asia Tenggara. Data Rystad Energy menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sumber daya gas bumi lebih dari 100 trilion cubic feet (TCF). Namun, kini para pelaku usaha justru harus dibebani harga gas mencapai US$ 16,67 per MMBTU.

"Dengan tingginya harga gas di Indonesia, ini sama saja dengan menolak investor sehingga mereka akan berinvestasi ke negara-negara tetangga," tandas dia, Senin (7/1).   

Baca Juga: Kebijakan HGBT Berakhir, Simak Proyeksi Harga Saham PGAS

Selanjutnya: APPI Proyeksikan Industri Tumbuh 8%-10% pada 2025, Ini Respons Mandala Finance

Menarik Dibaca: Penumpang Rombongan Bisa Dapat Diskon Tiket Whoosh 20%, Begini Caranya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Bond Voyage Mastering Strategic Management for Business Development

[X]
×