Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana kembali menyederhanakan struktur tarif cukai untuk produk hasil tembakau semakin terang. Pada 29 Juni 2020 lalu Kementerian Keuangan menetapkan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau sebagai salah satu bagian strategi reformasi fiskal untuk pemungutan tahun 2021 lewat PM Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024.
Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Azami Mohammad menolak penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau. Sebab, struktur tarif cukai yang ada saat ini yakni 10 layer sudah cukup untuk menaungi diversifikasi produk hasil tembakau di Indonesia, terutama kretek yang memiliki jenis yang beragam.
"Penyederhanaan struktur tarif cukai bisa berdampak pada pabrikan rokok kecil dan penyerapan bahan baku tembakau serta cengkeh," jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (10/7).
Baca Juga: Simplifikasi struktur cukai tembakau dinilai mengancam eksistensi kretek, kenapa?
Menurut Azami simplifikasi cukai hasil tembakau menguntungkan pabrikan besar dan mematikan pabrikan kecil. Pasalnya, pabrikan kecil akan berhadapan langsung dengan pabrikan besar. Hal ini karena dalam kebijakan simplifikasi, tidak ada lagi layer cukai golongan bawah dan golongan atas.
Lantas mengenai dampaknya terhadap petani, menurut Azami dapat mengurangi serapan bahan baku tembakau dan cengkeh para petani. Sebab, simplifikasi akan menyebabkan matinya pabrikan kecil, sehingga jumlah industri yang menyerap bahan baku mengalami penurunan. Jikalau melihat situasi saat ini, Azami memproyeksikan adanya penurunan daya serap pabrikan ke petani. Untuk serapan tembakau diproyeksi berkurang 30% sementara cengkeh sampai dengan 40%.
Sedangkan simplifikasi sendiri, lanjut Azami, berpotensi pada penurunan volume produksi 7%-9% di sektor Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Beda cerita dengan produsen tembakau iris PT Indonesian Tobacco Tbk (ITIC) yang mendukung kebijakan ini agar bisa dilaksanakan.
Direktur Utama PT Indonesian Tobacco Tbk (ITIC) menyatakan kebijakan ini baik untuk negara dan seharusnya sudah dari dulu dijalankan. Hanya saja menurut Djonny karena ada satu dan lain hal, banyak kepentingan yang melobi ke pemerintah dan DPR sehingga pelaksanaannya tertunda terus.
"Kami optimistis, simplifikasi layer ini tidak akan berdampak bagi usaha ITIC karena produk kami tidak head to head dengan produk rokok. Produk kami merupakan substitusi (alternatif) pada saat harga rokok mahal dan tidak terjangkau," jelas Djonny.
Djonny memaparkan Indonesian Tobaaco menyerap tembakau di 2019 sekitar 2.200 ton. Adapun tahun ini diproyeksikan sekitar 2.800 hingga 3.000 ton tembakau.
Baca Juga: APTI: Penyederhanaan struktur cukai berpotensi mengganggu serapan petani tembakau
Djonny memerinci Indonesian Tobacco menyerap bahan baku dari Jawa Tengah (Boyolali, Temanggung, Wonosobo, Muntilan), Jawa Timur (Jombang/Ploso, Jember, Bondowoso), dan Lombok (NTB). Kisaran harga pembelian bahan baku secara rata-rata harga pembelian Rp 40.000-Rp 45.000 per kilogram.
Sedangkan bagi pelaku industri rokok elektrik, kebijakan ini tidak serta merta berdampak pada tingkat permintaan.
Aryo Andrianto, Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) menjelaskan produk rokok elektrik memiliki pasar yang berbeda dengan rokok konvensional. Oleh sebabnya, tinggi atau rendahnya harga rokok konvensional tidak banyak berpengaruh ke market rokok elektrik.
"Market rokok elektrik adalah para pengguna rokok konvensional yang ingin berhenti menggunakan rokok konvensional ataupun ingin mencoba produk lain yang lebih rendah resiko," jelasnya.
Adapun sampai dengan saat ini Aryo bilang industri rokok elektrik akan fokus kepada regulasi industrinya sendiri yang masih membutuhkan peraturan yang dapat menunjang usaha.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News