Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebuah video yang menampilkan anak-anak merokok dengan santai viral di media sosial. Sejumlah anak-anak tampak merokok tak jauh dari orangtua mereka. Video ini muncul tiga hari sebelum Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang diperingati hari ini, Minggu (31/5). Video yang berdurasi sekitar satu menit tersebut membuat banyak pihak terutama penggiat kesehatan prihatin.
Sebab, merujuk Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 lalu, jumlah perokok anak usia 10 tahun – 18 tahun naik dari 7,2% tahun 2013 menjadi 9,1% pada tahun 2018, atau 1 dari 10 anak Indonesia merokok. Usia ini tampaknya tidak mencakup usia anak yang lebih muda seperti yang muncul pada video-video yang viral, sehingga sangat mungkin perokok pemula di negara kita jauh lebih tinggi.
“Ada cara-cara manipulatif yang dilakukan industri rokok untuk melanggengkan bisnis buruknya yang sangat berbahaya dan mengancam masa depan Indonesia, terutama karena yang mereka target adalah anak-anak kita,” kata Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau dalam rilis resminya, Minggu (31/5).
Baca Juga: Gara-gara pandemi Covid-19, volume penjualan Gudang Garam (GGRM) makin turun
Data Survei Perilaku Merokok di kalangan remaja oleh Kemenkes tahun lalu (2019) menunjukkan, sekitar 19,2% pelajar merokok (35,6% laki-laki dan 3,5% pelajar perempuan). Selain itu, 1% pelajar mulai mengkonsumsi vape, suatu produk tembakau yang baru saja diperkenalkan. Jika diperhitungkan dengan perokok pasif, maka 57,8% pelajar terpapar asap rokok di rumah.
Untuk itu, Hasbullah meminta pemerintah dan industri rokok untuk memperketat aturan pengendalian tembakau, seperti menerapkan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok, serta meningkatkan cukai rokok dan mengimplementasikan simplifikasi tarif cukai demi mencegah keterjangkauan harga rokok di masyarakat khususnya anak-anak.
Hasbullah juga berharap ada usaha untuk menutup setiap peluang yang memberi kesempatan kepada industri rokok melakukan intervensi pada kebijakan, termasuk dengan tidak menempatkan industri rokok sebagai stakeholders dalam pengambilan kebijakan dan menghentikan endorsing (dukungan) terbuka kepada kegiatan-kegiatan semacam-CSR industri rokok.
Harga rokok terjangkau oleh anak
Merujuk analisis yang telah dilakukan oleh Komnas Pengendalian Tembakau, tingginya prevalensi merokok pada anak terjadi karena banyaknya iklan, promosi, sponsor, serta harga rokok murah yang terjangkau oleh uang jajan anak. “Di Indonesia, iklan, promosi, dan sponsor rokok masih sangat masif, serta harga rokok sangat terjangkau di kantong anak-anak,” jelas Hasbullah.
Baca Juga: Bea Cukai Jateng DIY gagalkan penyelundupan rokok ilegal
Sementara, rokok yang memiliki zat adiksi akan mempengaruhi anak-anak untuk terus merokok. Hasbullah bilang, berbagai taktik dilakukan industri rokok demi menggaet anak muda untuk merokok dan kemudian kecanduan. “Ada banyak iklan yang bergaya anak muda keren dan sebagainya, meletakkan iklan di sekitar sekolah, sampai membuat promosi harga per batang di iklan-iklannya,” ungkap guru besar Universitas Indonesia tersebut.
Selain itu, Komnas Pengendalian Tembakau menemukan banyak program CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) rokok gencar mempengaruhi kebijakan publik dan melawan perhatian negatif produknya yang mematikan. Data dari Tobacco Industry Interference Index yang diterbitkan Southeast Asia Tobacco Control Alliance, intervensi industri rokok di Indonesia tahun 2014 lalu merupakan yang paling tinggi se-ASEAN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News