Reporter: Lidya Yuniartha, Noverius Laoli | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan bisnis industri penggemukan sapi (feedlot) Tanah Air kian meredup. Kondisi ini terjadi pasca keluarnya kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemdag) yang mewajibkan feedloter mengimpor satu ekor sapi indukan untuk izin lima ekor sapi bakalan.
Dampak aturan rasio 5:1 untuk mendapatkan kuota impor sapi bakalan ini sulit bisa dipenuhi pebisnis. Pasalnya, mekanisme perputaran bisnis feedloter tergolong cepat yakni hanya tiga sampai empat bulan.
Kewajiban impor indukan, perputaran bisnis feedloter ikut melambat, karena indukan membutuhkan waktu sekitar tiga tahun lebih untuk dapat menghasilkan anak. Alhasil, modal pebisnis fedloter tertahan selama lebih dari tiga tahun ketika harus memelihara indukan sampai beranak.
Wakil Ketua Umum Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) Didiek Poerwanto mengatakan, sepanjang 2017, realisasi impor sapi bakalan turun 20% dari tahun 2016 yang sebanyak 600.000 ekor menjadi 480.000 ekor. "Tahun ini, kami prediksi akan turun dan bisa turun lagi sampai 20%," ujarnya kepada KONTAN, Senin (29/1).
Menurutnya kebijakan Kemdag untuk mengimpor sapi indukan dengan rasio 5:1 tidak menguntungkan industri feedlot. Selain membuat perputaran bisnis menjadi lambat, impor indukan juga membuat kapasitas kandang bertambah. "Saat ini rata-rata kapasitas kandang feedlot sudah hampir penuh," ujarnya.
Salah satu perusahaan yang mengalami masalah ini adalah PT Cadila Lestari Jaya. Dirut Cadila Lestasi Achmad mengaku bisnisnya makin sulit karena kapasitas kandang penuh. "Bisnis kami menjadi sulit berputar lagi,"ujarnya.
Selain itu, saat ini industri feelot juga harus berhadapan dengan daging impor beku yang dibuka besar-besaran. Kebijakan ini bisa perlahan-lahan mengubah pola konsumsi masyarakat dari daging segar ke daging beku. Akibatnya prospek bisnis penggemukan sapi semakin lama tidak lagi menarik.
Proporsi impor naik
Kondisi ini dikhawatirkan membuat Indonesia benar-benar tergantung pada daging impor. Kondisi ini bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah yang ingin mempercepat swasembada daging. Bila kebijakan ini terus dilanjutkan, maka diperkirakan dalam waktu satu atau dua tahun ke depan, jumlah industri feedlot dalam negeri akan berkurang drastis.
Direktur Eksekutif Gapuspindo Joni Liano menambahkan pada tahun 2016 kebutuhan konsumsi daging sapi sebanyak 32% dipenuhi dari impor sementara sebanyak 68% dari lokal. Proporsi itu berubah pada tahun 2017. Pada tahun lalu, kebutuhan daging sapi dipenuhi oleh impor sebesar 41% dan produksi dalam negeri 59%.
Perubahan proporsi itu menunjukkan adanya kenaikan impor daging sapi setiap tahun seiring dengan makin besarnya defisit produksi dalam negeri, termasuk daging sapi hasil penggemukan sapi impor.
Menurut Joni, bila kebijakan tersebut dipertahankan, kekurangan supply daging sapidari dalam negeri akan bertambah dalam beberapa tahun ke depan. Untuk tahun ini, Joni bilang, Gapuspindo mengalokasikan impor sapi bakalan sebanyak 650.000 ekor. Jumlah ini bisa saja tak terealisasi apabila skema impor sapi 1:5 tetap akan dijalankan pemerintah.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemdag Oke Nurwan mengaku, berdasarkan laporan pengusaha penggemukan sapi, memang telah terjadi penurunan pemasukan impor sapi bakalan karena persaingan harga dengan daging beku dan daging kerbau yang semakin ketat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News