Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Azis Husaini
Kata Bahlil agar investasi bisa mocer mengalir ke Tanah Air, permasalahan industri TPT perlu dipecahkan. Catatan BKPM berdasarkan Forum Group Discussion (FGD) dengan pelaku industri tekstik setidaknya ada delapan kendala industri tekstil.
Pertama, bahan baku industri serat didominasi kapas (37%), poliester (51%), dan sisanya rayon (12%). Nyatanya, hampir 100% kapas impor, sebab beberapa daerah di Indonesia tidak cocok untuk budidaya kapas. Saran BKPM perlu adanya pengembangan kapas kapas di Sulawesi, NTB, dan NTT, serta pengembangan bahan baku peningkatan kapas.
Baca Juga: Obat kuat untuk industri padat karya
Kedua, upah buruh yang relatif tinggi, upaya efisiensi industri tekstil, pengaturan mengenaik PHK yang memberatkan usaha, dan sistem perangon dan turn over tinggi. Untuk itu, dirasa perlu adanya revisi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentabg Ketenagakerjaan.
Ketiga, industri tekstil masih banyak yang mengabaikan pengolahan limbah produksinya. Salah satu alasannya karena biaya pengolahan limbah mahal. Di sisi lain, tersebarnya lokasi industri TPT yang mempersulit kontrol pemerintah terhadap kepatuhan lingkungan. Sehingga, BKPM merekomendasikan perlu ada pembangunan fasilitas IPAL Terpadu dengan industri. Selain itu, dukungan kegiatan penelitian dan pengembangan untuk hijau
Keempat, biaya logistik yang mahal dan waktu logistik yang lama. Masalah logistik PTA (asam tereftalat murni) yang sulit dan mahal. BKPM merekomendasikan perlu penyederhanaan dalam pengurusan kegiatan ekspor impor. Optimalisasi data Pertukaran Data Elektronik (PDE). Pengembangan infrastruktur untuk menunjang industri. Insentif untuk usaha bisnis yang melakukan kegiatan ekspor. Perdagangan Bebas Daratan.
Kelima, soal energi yang tumpang tindih secara regulasi, tingginya biaya energi, regulasi yang tidak menentu, dan masih belum stabilnya ketersediaan listrik. Sehingga, diharapkan komitmen implementasi Perpres Nomor 40 Tahun 2016.
Keenam, sulitnya mencari SDM mumpuni untuk kebutuhan industri tekstil. Bahlil menyampailan optimalisasi program pemagangan berbasis kompetensi berdasarkan kebutuhan industri perlu dicanangkan dan pengingkatan kerjasama antara industri pendidikan dan industri tekstil.
Ketujuh, sulitnya pembiayaan dari bank karena dianggap sebagai industri beresiko tinggi. BKPM merekomendasikan usaha besar dapat bermitra dengan UMKM melalui penyertaan dalam rantai pasok barang atau jasa yang dibutuhkan oleh industri besar. Tidak lupa pula, pembiayaan bagi UMKM dalam pelaksanaan kemitraan dengan lembaga keuangan dan penjualan saham di pasar modal.
Kedelapan anggaran untuk kegiatan research and development (R&D)sangat terbatas serta revitalisasi mesin produksi yang mahal. Saran BKPM perlu ada insentif pemerintah untuk revitalisaso mesin produk, peningkatan kerja sama antar negata untuk mendukung program revitalisasi mesin, serta kerjasama antar negara untuk mendukung kegiatan R&D.
Di sisi lain, Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSYFI) Ravi Shankar mengatakan pengusaha pada dasarnya berkomitmen untuk meningkatkan industri tekstil dari hulu ke hilir. Lagi-lagi harmonisasi antara pengusaha dan pemerintah belum terjadi. Harapannya daya saing dapat tercipta bila kedua belah pihak dapat menyelesaikan permasalahan dalam industri TPT.
“Sudah dibicarakan antara lain tentang kebijakan energi, Sumber Daya Manusia (SDM), lingkungan hidup, komersial, kepabean dan pajak, serta kepastian pasar. Suatu yang harus diharmonisasi bersama. Kami akan memberikan suatu rekomendasi kepada BKPM untuk bisa menjembatani. Ini dilakukan agar bisa ekspor dan domestik kita aman,” kata Ravi di Kantor BKPM, Rabu (11/12).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News