Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memproyeksikan adanya kehilangan pendapatan sebesar Rp 5,7 triliun bagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akibat implementasi PLTS Atap 3,6 GW hingga 2025 mendatang.
Direktur Niaga dan Manajemen PLN Bob Saril mengungkapkan sejumlah upaya bakal dilakukan PLN dalam memulihkan potensi pendapatan yang hilang dari rencana implementasi PLTS Atap seiring bakal hadirnya revisi Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 jo No. 13/2019 jo No.16/2019 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero).
"Kami akan memulihkan dengan mencari pasar baru dan menciptakan pasar baru melalui perluasan jaringan kita," kata Bob kepada Kontan, Senin (30/8).
Bob mengungkapkan, PLN juga bakal mengintensifkan potensi dari pelanggan-pelanggan yang ada. Salah satu upaya nyata yang akan didorong yakni dengan meningkatkan penggunaan listrik oleh masyarakat.
Bob mencontohkan, saat ini PLN tengah mendorong substitusi kompor LPG dengan kompor induksi, sementara itu dari sektor kelautan dan perikanan PLN pun juga telah menjalin kerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk program Electrifying Fishery dimana para nelayan dan pengusaha tambak dapat menggunakan listrik untuk cold storage.
Baca Juga: Jika Permen PLTS Atap terbit September, potensi hasilkan listrik bisa 300 MW
Selain itu, dari sektor pertanian yakni dengan mendorong penggunaan listrik untuk membantu proses pengairan lahan yang selama ini menggunakan pompa berbahan bakar solar atau bensin. Upaya lainnya juga dilakukan dengan mendorong penggunaan kendaraan listrik oleh masyarakat. Bob menambahkan, langkah lainnya juga bakal dilakukan yakni dengan akuisisi pembangkit captive di sektor industri.
"PLN lakukan dengan bagaimana mengakuisisi captive perusahaan-perusahaan besar dengan memberikan kemudahan, kehandalan listrik. Apalagi kondisi sekarang dimana harga batubara tinggi kita tawarkan dengan harga PLN yang lebih kompetitif," jelas Bob.
Di sisi lain, Kementerian ESDM berharap pemanfaatan energi terbarukan melalui panel surya atap ini adanya aturan yang diharmonisasikan akan melahirkan peluang bisnis baru di sektor energi. "Ini bisa menjadi peluang bisnis baru dimana PLN lewat anak perusahaan bisa menyediakan paket pemasangan atau pemeliharaan PLTS atap," kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana.
Demi menekan kerugian PT PLN, penyediaan jasa pemasangan dan pemeliharaan PLTS Atap merupakan langkah praktis dengan menawarkan skema cicilan yang bundled dengan pembayaran tarif listrik kepada pelanggan.
Selain itu, PLN bisa menawarkan listrik PLTS Atap kepada industri/komersial secara kontrak dengan tarif khusus untuk periode waktu tertentu. Adapula listrik dari PLTS Atap bisa dijadikan bagian dari Renewable Energy Certificate (REC) atau tarif layanan khusus EBT yang ditawarkan kepada semua pelanggan, termasuk pemilik PLTU/PLTG/PLTGU.
Paluang bisnis lain yang bisa didapat adalah menjual nilai karbon dari pelanggan PLTS Atap selain pelanggan kategori industri dan bisnis. "Sekarang ini mengemuka sedang digagas mengenai perdagangan karbon (carbon tax). Perlu diingat, potensi penerimaan (perdagangan karbon) ini akan besar, kalau sekiranya kapasitas terpasang PLTS Atapnya makin besar," kata Rida.
Menanggapi hal tersebut, Bob memastikan saat ini PLN telah melaksanakan penjualan REC. Saat ini total nilai bisnis REC mencapai Rp 7,4 miliar dimana ada 69 ribu lebih konsumen telah menggunakan REC hingga Agustus 2021.
Sementara itu, Bob menilai untuk potensi perdagangan karbon justru kini pasarnya masih lesu. Bob memastikan pihaknya mendukung rencana pengembangan EBT di Indonesia. Akan tetapi, pihaknya berharap ketentuan poin revisi Permen mengenai ekspor impor energi listrik dipertimbangkan kembali.
Baca Juga: Terus bertambah, porsi pembangkit EBT jadi 51,6% di RUPTL 2021-2030
Bob menilai, dengan regulasi yang lama dimana ketentuan ekspor impor sebesar 1:0,65 pun implementasi PLTS Atap sudah naik signifikan dalam tiga tahun terakhir. "Dengan Permen yang dulu pun sudah banyak kenaikan, sudah lebih dari 6 kali dari tahun-tahun sebelumnya," jelas Bob.
Bob menilai ketentuan ekspor impor energi listrik ini perlu didudukkan pada kasus bisnis yang adil baik bagi pelanggan maupun PLN.
Merujuk data PLN, hingga Juli 2021 sudah ada 4.028 pelanggan PLTS Atap yang terdaftar dengan total kapasitas 35.562 KW dan produksi listrik sebesar 3,72 MWh. Jumlah ini naik signifikan dari status tahun 2018 sebanyak 609 pelanggan dengan kapasitas total 1.017 KW dan produksi listrik 1,28 MWh.
PLN menilai ketentuan Energi listrik Pelanggan PLTS Atap yang diekspor dihitung dengan faktor kali 65% sesuai permen ESDM No. 49/2019 sudah sangat feasible untuk pengembalian investasi terlebih dalam beberapa kajian faktor yang diusulkan justru lebih rendah di angka 58% dari energi ekspor. "Sehingga tidak membebani BPP dan tidak berdampak kepada peningkatan biaya subsidi listrik dari pemerintah," pungkas Bob.
Selanjutnya: IESR: Peningkatan porsi EBT indikasi keseriusan PLN dan pemerintah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News