kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ada skema cost reimbursment di rancangan perpres EBT


Senin, 27 Juli 2020 / 16:55 WIB
Ada skema cost reimbursment di rancangan perpres EBT
ILUSTRASI. Pemerintah tengah membahas rancangan peraturan presiden (perpres) tentang pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan (EBT).


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah membahas rancangan peraturan presiden (perpres) tentang pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan (EBT). Salah satu yang dibahas adalah pengembangan listrik EBT yang berasal dari panas bumi.

Merujuk pada draf perpres yang diterima Kontan.co.id, belied tersebut nantinya akan mengatur dukungan pemerintah terhadap pengembangan listrik dari energi bersih ini. Dalam pasal 20 ayat 3 disebutkan, salah satu bentuk dukungan pemerintah ialah dengan memberikan insentif fiskal berupa kompensasi biaya eksplorasi panas bumi.

Lebih lanjut, pasal 31 ayat 2 dan 3 menyebutkan bahwa pemberian kompensasi berupa sejumlah dana atas kegiatan eksplorasi dan pengembangan infrastruktur diberikan setelah beroperasi secara komersial alias Commercial Operation Date (COD).

Baca Juga: Mirip dengan migas, pengembangan WK Panas Bumi akan menggunakan skema cost recovery

Skema pengembangan wilayah kerja panas bumi (WKP) tersebut disebut-sebut mirip dengan pengembangan WK minyak dan gas bumi (migas) yang menggunakan skema cost recovery. Dengan begitu, pemerintah akan mengembalikan biaya operasi yang telah dikeluarkan oleh pengembang dalam eksplorasi WK Panas Bumi.

Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi tak mengamini hal tersebut. Lebih jelasnya, dalam pengembangan panas bumi, skema itu disebut sebagai cost reimbursement atau penggantian biaya.

"Di perpres dengan prinsip menyerupai cost recovery namanya adalah cost reimbursement," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Senin (27/7).

Priyandaru menjelaskan, di sektor migas, terdapat entitlement (hak) pemerintah terhadap hasil produksi sehingga cost recovery bisa diambilkan dari bagian pemerintah. Sedangkan untuk panas bumi, entitlement pemerintah berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Lalu ada royalti dan production bonus untuk pemerintah daerah.

Menurut Priyandaru, mekanisme cost reimbursment ini diusulkan oleh pemerintah. Dia pun tidak secara langsung mengomentari tentang cost reimbursment ini. Sebab bagi pelaku usaha, menarik atau tidaknya mekanisme tersebut bergantung pada dua unsur.

Pertama, harga jual yang sesuai dengan keekonomian proyek. Kedua, adanya kepastian pengusahaan. "Apa pun mekanismenya selama memenuhi dua unsur itu pasti akan membuat proyek panas bumi menarik. Cost reimbursment bisa menjadi menarik bila yang dua di atas terpenuhi," kata Priyandaru.

Meskipun, dia juga mengakui bahwa pengembangan panas bumi saat ini cukup berat lantaran semua risiko eksplorasi ditanggung oleh pengembang. Yang jelas, saat ini pelaku usaha masih menunggu kejelasan terkait mekanisme yang diusulkan oleh pemerintah, baik dalam bentuk Perpres maupun lebih rinci di dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM.

"Untuk cost reinbursement yang diusulkan ini kita juga belum jelas skemanya seperti apa, karena entitlement-nya pemerintah di sini tidak seperti oil and gas," imbuhnya.

Baca Juga: Dorong pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia, berikut strategi PLN

Priyandaru pun menegaskan para pelaku usaha memerlukan kepastian bahwa insentif yang dijanjikan dapat diterima.  "Bagi pengembang selama harga sesuai keekonomian dan adanya kepastian pengusahaan, termasuk kepastian mendapatkan insentif yang ditawarkan di dalam perpres, tentu saja akan menarik," katanya.

Lebih lanjut, dia juga menyoroti soal skema tarif dari listrik panas bumi. Priyandaru mengatakan bahwa pengembang mengusulkan harga bisa berdasarkan skema feed in tariff (FiT) supaya lebih memberikan kepastian. Pasalnya, saat ini skema tarif berdasarkan harga patokan tertinggi (HPT) dengan ceiling biaya pokok penyediaan (BPP) di setiap sistem kelistrikan.

Skema itu diusulkan untuk diubah menjadi HPT dengan ceiling per kapasitas. Padahal, menurut Priyandaru, skema HPT membuat pengembang diminta menegosiasikan harga setelah melakukan eksplorasi yang membutuhkan dana dalam jumlah besar.

"Ini mengakibatkan adanya ketidak pastian bagi pengembang. Kalau FiT, pengembang sudah mendapatkan harga jual sebelum eksplorasi dimulai, tidak ada negosiasi lagi, sehingga ada kepastian" imbuh Priyandaru.

Baca Juga: Kementerian ESDM terus dorong pengembangan green fuel di Indonesia

Sayangnya hingga berita ini ditulis, pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM belum memberikan tanggapan atau konfirmasi terkait dengan penyusunan rancangan perpres pembelian tenaga listrik EBT, maupun tentang skema cost reimbursment dan pembelian listrik dari panas bumi.

Direktur Jendral EBT dan Konservasi Energi Kementerian ESDM FX. Sutijastoto hanya mengatakan bahwa penjelasan mengenai perpres EBT sedang disiapkan dan akan diungkapkan pada konferensi pers yang digelar besok. Tadinya, konferensi pers virtual ini akan digelar siang ini namun mengalami penundaan jadwal.

"Sedang disiapkan, kita besok press conference," jawab Sutijastoto kepada Kontan.co.id, Senin (27/7).

Asal tahu saja, skema cost reimbursement atau kompensasi biaya dalam proyek listrik panas bumi itu tercantum dalam pasal 31 rancangan perpres  EBT, yang menyebutkan:

Ayat 1, pemerintah dapat memberikan kompensasi biaya eksplorasi dan pengembangan infrastruktur kepada: (a) pemegang Izin Panas Bumi (IPB), (b) pemegang kuasa pengusahaan sumber daya panas bumi dan/atau, (c) pemegang kontrak operasi bersama pengusahaan sumber daya panas bumi.

Ayat 2, kompensasi biaya eksplorasi dan pengembangan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa pemberian sejumlah dana atas kegiatan eksplorasi dan pengembangan infrastruktur.

Ayat 3, pemberian kompensasi biaya eksplorasi dan pengembangan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan setelah Commercial Operation Date (COD).

Ayat 4, pemberian kompensasi biaya eksplorasi dan pengembangan infrastruktur kepada pemegang IPB sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dengan ketentuan: (a) WKP tidak dilakukan pengeboran eksplorasi oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; dan (b) IPB diterbitkan setelah peraturan presiden ini diundangkan.

Ayat 5, pemberian kompensasi biaya eksplorasi dan pengembangan infrastruktur kepada pemegang kuasa pengusahaan sumber daya panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dengan ketentuan: (a) Kegiatan eksplorasi dilakukan dalam rangka pengembangan/ekspansi pada WKP; atau (b) Kegiatan dilakukan pada area prospek yang berbeda dalam satu WKP yang dilakukan setelah peraturan presiden diundangkan.

Ayat 6, pemberian kompensasi biaya eksplorasi dan pengembangan infrastruktur kepada pemegang IPB sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dengan ketentuan: (a) kegiatan eksplorasi dilakukan dalam rangka pengembangan ekspansi pada area WKP atau (b) kegiatan eksplorasi dilakukan pada area prospek yang berbeda dalam satu WKP yang dilakukan setelah peraturan presiden diundangkan.

Ayat 7, Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian kompensasi biaya eksplorasi dan pengembangan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri.

Baca Juga: Pemerintah Ingin Perpres Tarif EBT Rampung Sebulan Lagi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×