kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Agar kesepakatan investasi listrik dari Korsel tidak kontradiksi, ini kata asosiasi:


Kamis, 13 September 2018 / 18:38 WIB
Agar kesepakatan investasi listrik dari Korsel tidak kontradiksi, ini kata asosiasi:
ILUSTRASI. ilustrasi energi listrik


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lawatan Presiden Joko Widodo ke Korea Selatan (Korsel) beberapa waktu lalu membuahkan sejumlah kesepakatan bisnis. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut, kesepakatan bisnis yang diperoleh bernilai hingga US$ 6,2 miliar atau setara Rp 91,76 trilun (kurs Rp 14.800).

Sebagaimana yang diberitakan Kontan.co.id, Kepala BKPM Thomas Trikasih Lembong menyampaikan bahwa kunjungan Presiden Jokowi kali ini berbuah penandatanganan 15 nota kesepahaman, dan 6 komitmen investasi yang sifatnya business to business (B-to-B) antara sektor swasta Indonesia dan Korea Selatan.

Sektor energi, khususnya ketenaga listikan, menjadi satu diantaranya. Dari 15 nota kesepahaman B-to-B yang ada, setidaknya ada lima kesepakatan bisnis di sektor kelistrikan.

Rinciannya, Pertama, Engineering, procurement, construction dalam proyek Jawa 9 dan 10 (2x1.000 MW) senilai US$ 3 miliar yang dikerjakan oleh Doosan Heavy Industry & Construction bersama PT. Indo Raya Tenaga. 

Kedua, pengembangan PLTA Teunom 2 dan 3 di Aceh Jaya, Aceh, senilai US$ 800 juta oleh Hyundai Engineering bersama PT Terregra Asia Energy Tbk. Ketiga, pengembangan PLTA Pongkeru 50 MW di Luwu Timur, Sulsel, senilai US$ 300 juta oleh Korea Midland Power, Hyundai Engineering, POSCO E&C dan PT Sulindo Putra Timur. 

Keempat, Pengembangan PLTA Peusangan 4 di Bireun, Aceh oleh Hyundai E&C, Korea South East Power dan PT Wijaya Karya (Persero) senilai US$ 430 juta. Kelima, pengembangan PLTA Samarkilang 77 Megawatt (MW) di Bener Meriah, Aceh senilai US$ 300 juta oleh Korea Midland Power, Lotte E&C dan PT Bener Meriah Electric Power.

Dalam soal investasi ketenaga listrikan, Asosiasi Produsen Listrik Seluruh Indonesia (APLSI) menyambut positif atas kerjasama tersebut. Namun, APLSI tak menampik jika adanya kesan kontradiksi antara investasi ketenaga listrikan dengan penundaan sejumlah proyek ketenaga listrikan sebesar 15.200 MW.

“Bagus saja, kalau itu sifatnya investasi dari luar, berarti ada duit masuk, membawa devisa. Kalau pemerintah berhasil meyakinkan investor Korea untuk menandatangani itu ya kita welcome saja. Iklim investasi memang harus dijaga,” kata Ketua APLSI Arthur Simatupang saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (13/9).

Namun Arthur bilang, kontradiksi bisa terjadi ketika pemerintah salah fokus dalam penundaaan pembangkit listrik, dengan alasan proyek pembangkit mengandung komponen impor. Sebabnya, lanjut Arthur, komponen impor dari pembangkit ini merupakan barang yang produktif, bukan konsumtif.

“Seharusnya yang dibatasi itu misalnya konsumsi impor makanan, minuman, fashion, kendaraan pribadi, gadget, elektronik, karena itu kan barang konsumtif. Harusnya pemerintah ke situ larinya, ke sektor industri lainnya, bukan ketenaga listrikan,” lanjut Arthur.

Pembangunan ketenaga listrikan merupakan proyek jangka panjang. Sedangkan soal fluktuasi kurs rupiah merupakan persoalan jangka pendek. Sehingga menurut Sekretaris Jenderal Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI) Heru Dewanto, persoalan jangka pendek perlu di atasi dengan solusi jangka pendek, begitu juga sebaliknya.

“Kalau pembangunan infrastuktur itu kan program jangka panjang. Direncanakan sekian lama, dikonstruksi sekian lama, dioperasikan sekian lama. Fluktuasi kurs rupiah itu short term,” ujar Heru.

Alasan penundaan proyek kelistrikan terkait dengan upaya untuk menekan komponen impor. Karenanya, penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) harus ditingkatkan.

Mengenai TKDN ini, Heru bilang, idealnya ada perencanaan dan program yang matang serta berkesinambungan. Artinya, TKDN semestinya tidak hanya soal penetapan target sekian persen, namun lebih pada proses dan program bagaimana mencapai target tersebut.

“Local content memang harus ada program, jangan hanya dibuat target harus 30%, misalnya. Tapi harus juga dibuat program, bagaimana agar bisa mencapai 30% itu. Harus ada peran aktif pemerintah dan swasta. Swasta perlu iklim investasi dan pasar. Ini yang harus ditingkatkan,” jelasnya.

Soal adanya kerjasama bisnis ketenaga listrikan dari lawatan Presiden ke Korea Selatan, Heru menyebut, ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menghilangkan kesan kontradiksi. 

“pertama tambahan proyek ini sebetulnya untuk kapan implementasinya, kita juga belum tahu. Kedua, yang penundaan itu sebetulnya bagaimana. Itu yang harus dilihat lebih detail lagi,” imbuhnya.

Dihubungi terpisah, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andy N. Sommeng mengaku belum mengetahui detail dari kerjasama bisnis kelistrikan tersebut. 

Sedangkan soal 15.200 MW, Andy mengelak untuk tidak menyebut itu sebagai penundaan, melainkan sebagai pergeseran waktu Commercial Operation Date (COD) di dalam RUPTL 2018-2027.

“Saya belum mendapatkan info lengkapnya. Sebenarnya tidak ada penundaan proyek listrik, yang ada pergeseran waktu COD saja yang sudah tertuang di dalam RUPTL 2018-2027,” ujar Andy.

Dalam hal ini, Arthur menekankan, seharusnya pemerintah mendorong pembangunan kelistrikan sesuai dengan RUPTL. Sebab, dikhawatirkan, adanya pergeseran akan mengundang kekhawatiran bagi para investor.

“Itu bisa membuat investor berfikir-fikir. Pembangunan ini walau pun sekarang slowdown, tapi harus dijaga, supaya nanti waktu kembali ekonomi mengeliat, kita sudah siap infrastrukturnya,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×