Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
“Bagus saja, kalau itu sifatnya investasi dari luar, berarti ada duit masuk, membawa devisa. Kalau pemerintah berhasil meyakinkan investor Korea untuk menandatangani itu ya kita welcome saja. Iklim investasi memang harus dijaga,” kata Ketua APLSI Arthur Simatupang saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (13/9).
Namun Arthur bilang, kontradiksi bisa terjadi ketika pemerintah salah fokus dalam penundaaan pembangkit listrik, dengan alasan proyek pembangkit mengandung komponen impor. Sebabnya, lanjut Arthur, komponen impor dari pembangkit ini merupakan barang yang produktif, bukan konsumtif.
“Seharusnya yang dibatasi itu misalnya konsumsi impor makanan, minuman, fashion, kendaraan pribadi, gadget, elektronik, karena itu kan barang konsumtif. Harusnya pemerintah ke situ larinya, ke sektor industri lainnya, bukan ketenaga listrikan,” lanjut Arthur.
Pembangunan ketenaga listrikan merupakan proyek jangka panjang. Sedangkan soal fluktuasi kurs rupiah merupakan persoalan jangka pendek. Sehingga menurut Sekretaris Jenderal Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI) Heru Dewanto, persoalan jangka pendek perlu di atasi dengan solusi jangka pendek, begitu juga sebaliknya.
“Kalau pembangunan infrastuktur itu kan program jangka panjang. Direncanakan sekian lama, dikonstruksi sekian lama, dioperasikan sekian lama. Fluktuasi kurs rupiah itu short term,” ujar Heru.
Alasan penundaan proyek kelistrikan terkait dengan upaya untuk menekan komponen impor. Karenanya, penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) harus ditingkatkan.
Mengenai TKDN ini, Heru bilang, idealnya ada perencanaan dan program yang matang serta berkesinambungan. Artinya, TKDN semestinya tidak hanya soal penetapan target sekian persen, namun lebih pada proses dan program bagaimana mencapai target tersebut.