Reporter: Filemon Agung | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara resmi mengangkat tiga komisaris dan satu direksi baru lewat pemberian Surat Keputusan di Gedung Kementerian BUMN Senin pagi (25/11).
Pergantian terjadi pada posisi Direktur Keuangan Pertamina. Kementerian BUMN secara resmi menunjuk Emma Sri Martini sebagai Direktur Keuangan menggantikan Pahala Mansury.
Baca Juga: Kementerian BUMN: Ahok ditunjuk agar Pertamina bisa kurangi impor
Selain itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menggantikan Tanri Abeng. Kemudian Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin diangkat sebagai Wakil Komisaris Utama menggantikan Arcandra Tahar. Posisi terakhir yakni Condro Kirono yang ditunjuk sebagai komisaris menggantikan Gatot Trihargo.
Ahok yang ditemui di Gedung Kementerian BUMN masih enggan mengomentari secara gamblang sejumlah tantangan yang kelak akan dihadapi antara lain soal mafia migas dan impor migas yang tinggi.
"Saya hanya duduk bantu awasi jadi masyarakat bisa lihat perkembangan bagaimana hasil kerja kita, di lapangan seperti apa hasilnya. Ada kerjasama tim," terang Ahok.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri BUMN Arya SInulingga menjelaskan, kehadiran Ahok diharapkan mampu mengurangi impor BBM Pertamina. "Entah lewat pembangunan kilang, pengembangan B30 ataupun pengembangan EBT," tutur Arya ditemui di Gedung Kementerian BUMN, Senin (25/11).
Dikutip dari laman resmi Badan Pusat Statistik, Impor migas Oktober 2019 mencapai US$ 1,76 miliar atau naik 10,26% dibanding September 2019 dan turun 39,82 % dibandingkan Oktober 2018.
Baca Juga: Ahok resmi masuk, begini perubahan pada susunan komisaris dan direksi Pertamina
Masih menurut Arya, Kementerian BUMN mengharapkan fungsi dan tugas komisaris dapat benar-benar dilaksanakan. Adapun, komisaris Pertamina yang baru ditugaskan untuk melakukan pengawasan harian dan menjadi perpanjangan tangan Kementerian BUMN.
Pengamat Energi dari Reformer Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan pekerjaan utama yang perlu menjadi fokus yaitu pembenahan sektor finansial Pertamina.
"Tugas Pertamina dari hulu hingga hilir semuanya perlu dana yang besar," Jelas Komaidi kepada Kontan.co.id, Senin (25/11). Ia mencontohkan dengan masuknya Blok Mahakam serta Blok Rokan pada pengelolaan Pertamina maka dibutuhkan pula investasi tambahan yang besar.
Baca Juga: Menyusul Ahok, Susi dan Jonan akan jadi petinggi di BUMN?
Asal tahu saja, sebelumnya Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menyampaikan, produksi minyak di Blok Rokan selama ini disumbangkan dari lapangan-lapangan yang sudah berusia di atas 50 tahun. Fasilitas produksi di sana pun sudah tampak berumur.
“Jumlah aset di Blok Rokan cukup besar yakni hampir 140.000 aset atau lebih banyak 3 kali lipat aset di Blok Mahakam,” ujarnya kepada Kontan.co.id, beberapa waktu lalu.
Dari situ, diperlukan penanganan yang khusus selama masa transisi. Pihak Pertamina menghitung proses handover atau serah-terima di Blok Rokan diperkirakan mencapai lebih dari satu tahun.
Selain itu, penyediaan sumur untuk kebutuhan produksi juga menjadi tantangan tersendiri bagi Pertamina. Fajriyah menyebut, kebutuhan rig pengeboran (drilling) di Blok Rokan berkisar antara 3-10 rig untuk menyesuaikan program kerja yang realistis bisa tercapai.
Adapun kebutuhan rig work over diperkirakan sekitar 20-40 buah. Jumlah tersebut masih sama dengan yang diperlukan oleh PT Chevron Pacific Indonesia selaku pengelola Blok Rokan terkini.
Dia menjelaskan, kebutuhan rig drilling maupun rig workover untuk Blok Rokan akan dipenuhi dari internal Pertamina maupun perusahaan lain yang bisa memberikan harga kompetitif. “Kondisi rig juga mesti memenuhi persyaratan sesuai standar,” imbuhnya.
Baca Juga: Tak masuk kabinet Indonesia Maju, Rudiantara jadi Dirut PLN
Sementara itu, pembangunan kilang, menurut Komaidi juga membutuhkan dana yang besar. Awal November lalu, Pemerintah meminta supaya PT Pertamina (Persero) bisa mempercepat pembangunan megaproyek kilang. Setidaknya ada enam proyek kilang yang sedang dikerjakan oleh holding perusahaan migas pelat merah tersebut.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pihaknya meminta supaya proses pengerjaan proyek kilang tersebut dilakukan secara paralel agar bisa lebih cepat dan efisien. Menurut Luhut, pengerjaan proyek kilang tersebut setidaknya bisa rampung dalam kurun dua tahun.
Hal itu disampaikan Luhut usai menggelar rapat koordinasi bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati. "Jadi sekarang kami mau bikin begini, paralel. Sehingga bisa percepat waktunya, dua tahunan semua proyek itu," kata Luhut di kantornya.
Baca Juga: Tanggapan staf khusus Menteri BUMN soal Rudiantara yang akan mengisi posisi Dirut PLN
Luhut bilang, belanja modal alias capital expenditure (capex) di proyek Pertamina secara total mencapai US$ 60 miliar. Untuk itu, Luhut menuturkan pihaknya akan melakukan evaluasi terhadap proyek-proyek tersebut agar berjalan sesuai jadwal dan efisien.
"Di Pertamina itu ada proyek senilai capexnya US$ 60 miliar. Itu sekarang kami evaluasi satu-satu, kami identifikasi. Minggu depan Pertamina lapor sama saya lagi gimana timetable-nya," jelas Luhut.
Sebagai informasi, saat ini Pertamina memiliki enam proyek kilang, yakni empat proyek pengembangan alias Refinery Development Master Plan (RDMP) dan dua proyek baru alias Grass Root Refinery (GRR).
Salah satu yang hingga kini masih ramai menjadi perbincangan yakni kelanjutan kerjasama dengan Saudi Aramco pada RDMP Kilang Cilacap.
Luhut menyebut, belum ada nilai akhir yang disepakati terkait valuasi aset kilang Cilacap. "Aramco kami evaluasi selisihnya masih ada US$ 1,5 miliar. KIta lihat bagaimana, kalau betul tetap segitu tentu kami lihat pilihan lain," ungkapnya.
Baca Juga: Airlangga terus meraih dukungan dari DPD Partai Golkar
Lebih jauh, Komaidi mengungkapkan pada sektor hilir dibutuhkan dana yang tidak sedikit dalam hal pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Kebutuhan dana yang besar, sebut Komaidi mungkin dicapai dengan opsi memperoleh sumber investasi. "Kerjasama dengan mitra menjadi opsi realistis dan penghemetan harus dilakukan secara paralel," tutur Komaidi.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan Ahok pertama-tama harus menata kembali perihal tupoksi dewan komsiaris dan dewan direksi.
"Ahok harus memprioritaskan untuk 'melecut' direksi dalam menjalankan aksi korporasi," terang Fahmy ketika dihubungi Kontan.co.id, Senin (25/11).
Baca Juga: Rudiantara dirut PLN, Kementerian BUMN: Tunggu kepulangan Menteri
Aksi korporasi tersebut berkaitan dengan peningkatan produksi migas dan penuntasan pembangunan kilang. Bahkan ketimbang menanti kemitraan, Fahmy menilai Pertamina perlu menerbitkan global bond demi membiayai proyek kilang yang ada.
Mengutip catatan Kontan.co.id, Peneliti Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman berharap Ahok mesti segera berantas mafia hingga ke akar alias dari hulu hingga hilir.
"Jadi tugas pertama Ahok di Pertamina adalah melakukan operasi pemberantasan mafia migas dari hulu-hilir," kata Ferdy dalam siaran pers, Minggu (24/11).
Menurut Ferdy, Pertamina memang butuh pengawasan. Sebab, laba Pertamina masih lebih kecil ketimbang Petronas sebesar 11 miliar dollar AS di 2018. Hal itu membuat Pertamina termasuk perusahaan minyak kecil di dunia meski asetnya mencapai Rp 905,8 triliun di 2018.
Padahal kata Ferdy, dahulu tahun 1990 Petronas belajar dari pertamina bagaimana caranya mengolah lapangan-lapangan migas, menggunakan teknologi, dan berinovasi.
"Namun, seiring berjalan waktu, Petronas menyalip jauh Pertamina. Pertanyaannya adalah mengapa Pertamina sulit bersaing?" imbuhnya.
Ferdy menuturkan, hal tersebut terjadi karena masih adanya mafia migas yang memiliki jaringan kuat dan panjang. Dia bilang, mafia berharap RI tetap mengimpor BBM dan elpiji agar mereka mendapat untung sehingga tidak menginginkan produksi minyak Pertamina meningkat di sektor hulu.
Baca Juga: Menteri ESDM: Sujatmiko jabat Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara
"Mafia ini masih menempel sambil mencari celah bagaimana mereka mencoba bermain kembali dan bagaimana Presiden Jokowi bisa melunak," ungkap Ferdy.
Untuk itulah kata Ferdy, Ahok bisa menjadi tangan kanan Presiden RI dalam memberantas mafia seiring dengan jabatan Komut yang diembannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News