Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Proses divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) diminta untuk tidak meminggirkan masyarakat asli sekitar kawasan tambang. Pasalnya, masyarakat pemegang hak ulayat acapkali tak diajak terlibat dalam proses penentuan kebijakan, termasuk dalam divestasi ini.
Padahal, menurut akademisi dari Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur, Papua, Pater Neles Tebay, masyarakat asli setempat yakni Suku Kamoro dan Amume, adalah yang paling terdampak langsung atas operasional tambang Freeport.
“Yang paling pokok adalah partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Soal divestasi 51% ini juga masyarakat tidak tahu. Kenapa? karena tidak dilibatkan didalam diskusi-diskusi,” ujar Pater, Selasa (25/9).
Dalam kesempatan yang sama, Akademisi dari Universitas Hasanuddin Anas Iswanto A. Makatutu menuturkan, ukuran kebermanfaatan kehadiran Freeport dan divestasi PTFI. Menyangkut pada tiga aspek. Yakni ekonomi (growth), sosial (kesejahteraan), dan ekologi (kelestarian dan keberlanjutan).
“Segala manfaat itu, masyarakat Papua harusnya lebih bisa merasakannya. Keuntungan itu tergantung dengan bagaimana kita mengelolanya, karenanya harus disediakan sumber daya yang kompeten” jelas Anas.
Soal kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), Pater menekankan perlu adanya perencanaan yang serius terhadap warga sekitar. Hal ini dimaksudkan guna menyiapkan SDM lokal yang terampil baik dalam manajemen dan operasional, maupun pengembangan usaha lainnya, seperti usaha penyediaan suplai makanan.
“Pertanyaannya, setelah sekian tahun, apakah ada planning pekerjaan-pekerjaan di sana ditangani oleh orang Kamoro dan Amume? Padahal, keterlibatan ini sangat fundamental. Jadi nanti yang kita bicarakan bukan cuman ganti rugi, tapi juga bagi untung,” kata Pater.