Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) siap melayangkan sanksi pemangkasan produksi melalui revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pada akhir bulan Juli ini.
Hal ini akan diterapkan bagi para Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang belum memberikan suplai batubara dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) sebanyak 25% kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono mengatakan, pihaknya saat ini tengah mengevaluasi perusahaan-perusahaan IUP yang belum menyerahkan DMO 25% kepada PLN.
"Ada banyak yang belum serahkan, sanksinya pemangkasan produksi dalam RKAB," kata Bambang saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (18/7).
Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan melalui suratnya bernomor 2841/30/MEM.B/18 per tanggal 8 Juni 2018 menetapkan, bahwa apabila pada triwulan II-2018 suplai batubara DMO tidak dapat memenuhi kewajiban sebanyak 25%, maka akan dikenakan sanksi pengurangan tingkat produksi tahun 2018.
Banyaknya perusahaan IUP yang belum suplai batubara DMO lantaran spesifikasi batubara tidak sesuai dengan batubara milik PLN. Makanya, pemerintah meminta supaya IUP melakukan transfer kuota untuk pemenuhan DMO sebanyak 25% itu.
Karena pemerintah menetapkan trasnfer kuota dengan cara bussines to bussines (B to B). Jadi, harga yang dibeli oleh perusahaan IUP untuk transfer kuota bisa memakai Harga Batubara Acuan (HBA) US$ 104,6 per ton (per Juli). Sedangkan, untuk menjual ke PLN akan dipatok US$ 70 per ton.
Tapi, Bambang menyatakan bahwa suplai DMO sebanyak 25% merupakan suatu kewajiban yang memang harus dipenuhi. "Untuk IUP daerah yang belum juga, nanti kita beri tahu ke Gubernur untuk bisa merevisi RKAB-nya," tandasnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Pertambangan Batubara (APBI), Hendra Sinadia mengatakan bahwa banyaknya perusahaan yang tidak bisa memenuhi DMO sebesar 25% lantaran terhambat masalah harga beli kepada perusahaan lain.
"Ada perbedaan pandangan dari produsen, antara yang punya kuota lebih dan membutuhkan kuota. Sementara pemerintah menyerahkan bussines to bussines," terangnya kepada Kontan, Rabu (18/7).
Dia bilang, penerapan sanksi cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, jika tidak memenuhi keinginan pemerintah nanti perusahaan hanya dapat diberikan kuota produksi maksimal empat kali realisasi dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News