Reporter: Noverius Laoli | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Dalam sebulan terakhir, harga karet kembali melar. Berdasarkan data harga karet di Tokyo Comodities Index per 26 Oktober 2016 tercatat masih ¥ 179 per kilogram (kg) atau US$ 1,59 per kg (US$ 1= ¥ 112,53).
Harga tersebut meningkat drastis hingga Kamis (24/11) kemarin yang mencapai ¥ 238,8 per kg atau setara US$ 2,12 per kg. Ini artinya, dalam sebulan harga karet melonjak hingga 33,33%.
Kenaikan harga ini, tak pelak membuat petani karet sedikit lebih lega. Maklum, jika akhir bulan lalu harga karet masih dibanderol Rp 5.000-Rp 6.000 per kg, maka di akhir November ini, harganya sudah melejit menjadi Rp 8.000-Rp 10.000 per kg.
Namun kenaikan harga karet ini diprediksi tidak berlangsung lama, karena situasi perekonomian global mengalami ketidakpastian pasca Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS).
Trump dalam kampanye pemilihan presiden AS sebelumnya mengancam akan melakukan proteksi terhadap pasar AS dan akan menyetop impor dari China. Padahal, China merupakan salah satu negara yang menyerap karet dalam volume besar.
Bila hal itu terjadi, maka otomatis negara Tirai Bambu tersebut akan mengurangi produksi dan penyerapan karet di pasar global. "Jadi kenaikan ini paling banter bertahan sampai kuartal pertama tahun depan," ujar Ketua Umum Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) Azis Pane kepada KONTAN, Kamis (24/11).
Azis mengatakan, kenaikan harga karet saat ini tidak didasarkan pada fundamental karet yang menguat, tapi lebih banyak karena spekulasi pasar. Kendati begitu, langkah pembatasan ekspor karet yang dilakukan oleh tiga negara anggota International Tripartite Rubber Council (ITRC) yakni Thailand, Indonesia, Malaysia, dan plus Vietnam turut mendorong peningkatan harga karet.
Apalagi, pembatasan ekspor karet ini disokong dengan menipisnya stok karet di China yang mendorong negara itu meningkatkan penyerapan di akhir tahun ini.
Selain karena ancaman ketidakpastian kebijakan ekonomi AS di bawah Trump, Azis juga bilang, ketidakpastian ekonomi Uni Eropa juga berpotensi membuat harga karet akan anjlok lagi. Sebab, saat ini, Uni Eropa tengah direcoki proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa dan pemilihan Kanselir Jerman yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian baru.
Penyerapan pasar lokal
Moenardji Soedargo, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) mengatakan, saat ini harga karet sudah lebih baik dibandingkan kondisi awal tahun lalu yang tersungkur di kisaran US$ 1 per kg.
Menurutnya, kejatuhan harga karet waktu itu tidak sesuai dengan nilai fundamentalnya. Karena itu, proses perbaikan harga karet akan terjadi dan itu mulai terasa saat ini ketika harga karet terus menanjak tinggi.
Namun, untuk mengantisipasi ketergantungan pada permintaan pasar global dan ketidakpastian ekonomi globa, Gapkindo mendorong agar pemerintah berperan aktif dalam meningkatkan konsumsi karet dalam negeri, khususnya oleh negara penghasil karet, termasuk Indonesia.
Gapkindo menyarankan agar pemerintah melakukan penjajakan ke beberapa negara tetangga untuk membatasi ekspor karet dan meningkatkan konsumsi karet di dalam negeri masing-masing.
Selain itu, Gapkindo mendesak agar janji pemerintah untuk menambahkan karet sebagai bahan baku pada beberapa proyek infrastruktur segera diimplementasikan. Salah satu contohnya adalah pencampuran karet dengan aspal yang telah dijanjikan sejak tahun 2015 lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News