Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah akuisisi PT Chandra Asri Pacific Tbk (Chandra Asri Group) melalui kemitraannya dengan Glencore plc terhadap Shell Energy and Chemicals Park (SECP) di Singapura, dapat meningkatkan ketahanan energi dan memenuhi permintaan yang terus meningkat untuk produk petrokimia.
Pengamat Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi menerangkan, kontribusi Chandra Asri Group lewat SECP akan mendukung peningkatan produksi petrokimia nasional. “Bahan baku bisa didapatkan dengan mudah dan meningkatkan pertumbuhan industri manufaktur,” tutur dia dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (17/10).
Melalui SECP, yang merupakan salah satu kilang minyak dan pusat perdagangan terbesar di dunia, Chandra Asri Group akan menyediakan produk petroleum, termasuk bensin, bahan bakar jet, gas oil, dan bitumen untuk mendukung berbagai industri di Indonesia.
Dengan demikian, terbuka kemungkinan untuk menurunkan harga produk minyak bumi melalui kolaborasi dalam transportasi dan infrastruktur. Produk kimia lain yang dapat diproduksi oleh Aster, seperti MEG dan Polyol, sangat penting dalam proses manufaktur. Indonesia masih membutuhkan sejumlah produk kimia tersebut dan sering mengimpornya dari negara maju.
Baca Juga: INOV Manfaatkan Potensi Ekonomi Industri Daur Ulang
Chandra Asri Group berencana untuk memprioritaskan kebutuhan pasar Indonesia dengan memindahkan produk dari Aster guna mengisi kekurangan tersebut Hal ini juga sejalan dengan rencana pemerintah untuk menaikkan lifting minyak dan gas naik, dalam rangka mengurangi impor yang membuat anggaran negara semakin besar.
Seperti diketahui, produksi minyak dan gas bumi (migas) Indonesia menghadapi tantangan yang berat. Sebab, produksi migas Indonesia terus mengalami penurunan
Berdasarkan data Kementerian ESDM, lifting minyak terus menurun dari tahun 2015. Pada tahun itu, realisasi lifting minyak tercatat 779 ribu barel per hari (bopd). Sempat naik menjadi 829 ribu bopd di 2016, tapi kemudian turun di 2017 menjadi 804 ribu bopd.
Setelah itu, lifting terus turun secara berurutan yakni 778 ribu bopd (2018), 746 ribu bopd (2019), 707 ribu bopd (2020), 660 ribu bopd (2021), 612 ribu bopd (2022), dan 605,4 ribu bopd (2023).
Dengan terus menurunnya lifting minyak dan gas terus maka akan berdampak terhadap keuangan negara. Pada tahun 2023, subsidi bahan bakar di Indonesia mencapai IDR 160 triliun, dan 60% dari jumlah tersebut dialokasikan untuk sektor bahan bakar dan LPG.
Saat ini, Indonesia sangat bergantung pada impor untuk minyak mentah dan produk minyak bumi guna menutupi defisit. Untuk memastikan keterjangkauan dan aksesibilitas bagi konsumen, subsidi bahan bakar diberikan.
Baca Juga: Kadin Indonesia Luncurkan Indonesia Cybersecurity Industry Report & ADIKSI
Fahmy menjelaskan, penurunan lifting ditambah kapasitas kilang yang terbatas, membuat Indonesia terus menjadi net importer minyak. “Pada akhirnya, Indonesia bergantung impor minyak mentah dan BBM. Saat ini, suit mengurangi ketergantungan impor minyak karena cadangan minyak di dalam negeri semakin turun,” papar dia.
Fahmy menilai, butuh investasi besar untuk mengeksplorasi cadangan minyak. Namun, investor besar di Indonesia kurang berminat karena cadangan minyak yang menipis.