kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.543.000   4.000   0,26%
  • USD/IDR 15.859   -119,00   -0,76%
  • IDX 7.480   -12,39   -0,17%
  • KOMPAS100 1.157   -2,04   -0,18%
  • LQ45 916   -3,97   -0,43%
  • ISSI 227   0,79   0,35%
  • IDX30 471   -3,31   -0,70%
  • IDXHIDIV20 569   -3,84   -0,67%
  • IDX80 132   -0,21   -0,16%
  • IDXV30 141   0,37   0,27%
  • IDXQ30 157   -0,79   -0,50%

Alasan pentingnya tata kelola pajak pertambangan


Selasa, 06 Mei 2014 / 22:33 WIB
Alasan pentingnya tata kelola pajak pertambangan
ILUSTRASI. Kenali Sederet Manfaat Kacang Panjang untuk Kesehatan


Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Banyak rintangan menghadang upaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengejar penerimaan sesuai target. Salah satu sektor yang susah digali adalah pertambangan dan penggalian. DJP pun menghendaki adanya perubahan tata kelola sektor yang menyumbang penerimaan ke kas negara sebesar Rp 53,9 triliun pada tahun 2013 lalu. 

Bukan tanpa sebab DJP ingin adanya perbaikan tata kelola sektor tambang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan kajian yang dilakukannya pada Agustus 2013 hingga Maret 2014 menyimpulkan penerimaan pajak dari sektor mineral batu bara (minerba) tidak optimal.

Kajian tersebut menemukan sejumlah permasalahan terkait tata laksana, regulasi, serta manajemen sumber daya manusia (SDM) Ditjen Pajak. KPK melihat belum akuratnya data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sektor tambang.

Dari 3.826 Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara yang dimiliki oleh 3.066 perusahaan, ditemukan 726 perusahaan atau 23,61% perusahaan yang tidak teratat pada NPWP Ditjen Pajak.

Tidak hanya itu. Terdapat perbedaan data porduksi batubara dari Ditjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Badan Pusat Statistik (BPS), World Coal Association (WCA) dan US Energy Information Administration (EIA). Akibat dari perbedaan data tersebut, potensi hilangnya pajak pada tahun 2012 mencapai lebih dari Rp 20 triliun.

Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengakui kajian KPK tersebut adalah benar. Karena itu diperlukan perombakan tata kelola dan manajemen sektor tambang.

Menurut dia, terdapat perbedaan data ekspor produksi antara intansi pemerintah serta lembaga pertambangan WCA dan EIA menunjukkan bahwa ada data ekspor yang tidak termonitor dan tidak tercatat dengan baik oleh instansi pemerintah pusat dan daerah.

Padahal adalah tugas pemerintah pusat dan daerah untuk memonitor perusahaan-perusahaan tambang yang beredar di tanah air untuk membayar pajak. Oleh sebab itu, mau tidak mau perlu ada perbaikan data sebagai solusi.

"DJP sangat membutuhkan data ekspor dan porduksi yang akurat dari instansi pusat dan daerah," ujar Fuad kepada KONTAN, Selasa (6/5). Tidak heran apabila kemudian KPK pun memberikan saran kepada otoritas pemerintah untuk meningkatkan basis data wajib pajak (WP) sektor tambang. Dibutuhkan kerja sama antar instansi untuk menunjang pelaksanaan DJP untuk mengawasi pajak. 

Tidak optimalnya penerimaan pajak pada sektor tambang bukan baru-baru ini terjadi. Kajian Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mencatat potensi penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan dan orang pribadi pada sektor pertambangan dan penggalian pada tahun 2012 sebesar Rp 140,96 triliun. Yang terealisasi hanya Rp 43,48 triliun. 

Artinya, capaiannya hanya 30,8% dari potensi. Melihat rendahnya realisasi pada sektor ini, kajian tersebut menyebutkan sektor tambang dan galian hendaknya menjadi prioritas utama dalam upaya penggalian potensi penerimaan PPh non migas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×