Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) menilai, kesulitan mendapatkan bahan baku rotan menjadi penyebab penurunan ekspor furnitur rotan yang terus terjadi dari tahun ke tahun. Pembukaan keran ekspor bahan baku menjadi penyebab hilangnya pasokan bahan baku rotan berkualitas.
Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Hatta Sinatra mengatakan, diizinkannya ekspor bahan baku membuat pembeli asing sampai mendatangi langsung petani rotan di Kalimantan. Rotan-rotan pilihan itu sebagian sudah diolah setengah jadi dan sebagian lagi masih bahan mentah. "Setiap bulan mereka mengangkut sekitar 100 kontainer," ungkap Hatta, Jumat (25/3).
Bahan baku rotan itu menurut Hatta dibawa ke China dan Vietnam. Karena itulah, pengusaha mebel dan kerajinan rotan di Indonesia kesulitan mendapatkan bahan baku yang berkualitas. Dengan kualitas yang rendah, harganya juga jauh lebih mahal.
Hal itu ditengarai menyebabkan banyak pengusaha rotan yang gulung tikar. Di kota Cirebon, Jawa Barat yang menjadi barometer industri rotan di Indonesia juga terpuruk. Menurut Hatta jumlah industri rotan di sana sudah jauh berkurang karena 50% hingga 60% dari mereka terpaksa gulung tikar. "Padahal 75% industri rotan di Indonesia berasal dari Cirebon," kata Hatta.
Produksi yang terus merosot terlihat dari penurunan realisasi ekspor furnitur rotan yang terjadi sejak tahun 2004 sebesar US$ 336 juta menjadi US$ 135 juta pada tahun 2010. Terkait masalah itu, Hatta mengatakan AMKRI menolak ikut pembahasan revisi Peraturan Menteri Perdagangan No 36 tahun 2009 tentang ekspor rotan sebagai bentuk aksi penolakan terhadap peraturan itu.
Namun, Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan, Yamanah AC membantahnya. Menurutnya, rotan yang diekspor sudah dipoles dan disebut sebagai rotan setengah jadi. Selain itu nilai ekspornya juga kecil dan tidak pernah mencapai kuota yang ditetapkan. "Kuotanya sebesar 35.000 ton tapi ekspornya antara 27.000 hingga 30.000 ton," kata Yamanah.
Apalagi, menurut Yamanah produksi rotan di Indonesia sangat melimpah setiap tahunnya yaitu sekitar 600.000 ton. Bahan baku rotan tidak terserap semua oleh pasar domestik. Yang harus dilakukan menurut Yamanah adalah melakukan pembedaan nomor HS antara rotan mentah dan rotan yang sudah dipoles karena selama ini disamakan sebagai bahan mentah.
Sementara itu Menteri Perindustrian MS Hidayat mengakui permasalahan bahan baku rotan sudah terjadi selama bertahun-tahun. Yang perlu dibenahi menurutnya adalah industri ekspor ilegal yang sangat besar yang dinikmati oleh negara lain. "Kami akan memperbaiki kebijakan pemerintah yang bertentangan dan mengganggu industri rotan," janji Hidayat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News