kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Anggarkan Rp 175 miliar, pemerintah targetkan bangun PLTS Atap di 800 titik tahun ini


Jumat, 07 Februari 2020 / 14:56 WIB
Anggarkan Rp 175 miliar, pemerintah targetkan bangun PLTS Atap di 800 titik tahun ini
ILUSTRASI. Petugas melakukan perawatan panel surya di atap Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu (31/7/2019). Kementerian ESDM berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di 800 titik pada tahun ini. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Rooftop alias PLTS Atap di 800 titik pada taun ini.

Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Puspa Dewi mengungkapkan, anggaran yang disiapkan untuk program ini mencapai Rp 175 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut Puspa, anggaran itu melonjak naik dibandingkan tahun lalu yang hanya sebesar Rp 39,3 miliar.

Baca Juga: Pemerintah dorong peran swasta untuk elektrifikasi di daerah terpencil

"Kapasitas dibangun pada 2019 sejumlah 1.785 kWp (kilowatt peak). 2019 masih kecil alokasi anggaran dibanding tahun ini," kata Puspa saat dihubungi Kontan.co.id, Jum'at (7/2).

PLTS atap tahun lalu dibangun di sejumlah kantor pemerintahan pusat dan juga pondok pesantren. Adapun, target total kapasitas PLTS Rooftop yang akan dibangun tahun ini masih dalam perhitungan.

Puspa mengatakan, rencananya lelang untuk program ini baru akan digelar pada Maret mendatang. Lelang tersebut bersifat umum dan bisa diikuti oleh badan usaha. "Total kapasitas (PLTS rooftop tahun ini) masih belum pasti. Untuk akuratnya nanti kita hitung dan cek lagi setelah kontrak," sebutnya.

Adapun, 800 titik pembangunan PLTS atap tahun ini tersebar di 17 provinsi. Dengan rincian, Sumatera Utara (15 unit), Sumatera Selatan (15 unit) Bangka Belitung (30 unit), Lampung (20 unit).

Baca Juga: Sektor TPT masih tumbuh 15%, ekspor tekstil mencapai US$ 12,9 miliar tahun lalu

Selanjutnya, ada di Jawa Tengah (94 unit) Jawa Timur (100 unit), Bali (90 Unit), Kalimantan Utara (70 unit), Kalimantan Tengah (20 unit), Nusa Tenggara Timur (100 Unit). Berikutnya Sulawesi Barat (15 unit), Sulawesi Selatan (15 unit), Sulawesi Utara (80 unit), Maluku Utara 40 unit, Maluku (20 unit), Papua Barat (30 unit), dan Papua (46 unit).

PLTS Atap yang akan dibangun terdiri dari 4 kategori, yakni S ( 5 kWp ke bawah), M ( 5 kWp - 25 kWp), L (25 kWp - 50 kWp), dan XL (lebih dari 50 kWp).

PLTS Atap tersebut rencananya akan dibangun di gedung pemerintah dan sosial. Termasuk rumah ibadah, panti asuhan, gedung heritage, museum, Rusunawa, fasilitas TNI/Polri, terutama yang berada di perbatasan atau daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, penggunaan PLTS Atap memang perlu dikembangkan guna mendorong pemanfaatan dan bauran energi terbarukan dalam kelistrikan.

Apalagi, harga modul surya maupun harga listrik yang dihasilkan dari PLTS atap semakin kompetitif. Fabby memberikan gambaran, harga modul surya di pasar internasional pada tahun 2015 rata-rata berada di angka US$ 0,55 - US$ 0,57 per Wp.

Baca Juga: OPEC+ rekomendasikan pemangkasan tambahan, harga minyak makin kokoh

Pada akhir 2019, harganya sudah turun menjadi US$ 0,20 - US$ 0,25 per Wp. Sedangkan untuk pasar Indonesia, Fabby mengatakan bahwa harga di Indonesia masih berkisar 30%-40% di atas pasar internasional.

"Harga modul turun 50%-60% dalam lima tahun terakhir. Harga modul tambah kompetitif, harga listriknya juga," ujar Fabby kepada Kontan.co.id, Jum'at (7/2).

Dalam perhitungannya, Fabby mengemukakan bahwa selama 25 tahun harga listrik dari modul surya tersebut cenderung stabil, sekitar Rp 400 per kWh.

Berdasarkan estimasi IESR, sambung Fabby, potensi PLTS Atap di Indonesia baru bisa mencapai 250 Megawatt. Potensi terbesar adalah PLTS Atap yang berasal dari sektor komersial dan industri sekitar 65%-70%. "10%-15% dari bangunan rumah, dan 15%-20% dari bangunan pemerintahan," ungkap Fabby.

Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Andhika Prastawa mengatakan, penggunaan PLTS Atap memang perlu dorongan dari pemerintah. "Tentunya ini sangat berarti dalam promosi dan inspirasi berbagai pengguna bangunan gedung untuk turut serta menggunakan PLTS Atap," ujarnya.

Baca Juga: Sky Energy Indonesia (JSKY) sambut positif rencana penerbitan Perpres EBT

Kendati begitu, Andhika mengingatkan mengenai keandalan jaringan sistem kelistrikan yang mesti terjaga, supaya PLTS Atap bisa beroperasi dengan optimal. Terutama untuk PLTS Atap yang akan dipasang di luar Jawa-Bali.

Menurut Andhika, dampak penggunaan PLTS Atap terhadap sistem kelistrikan memang tidak bisa terasa instan. "Dampak pengoperasian mungkin baru terlihat setelah 5 tahun, di mana tingkat keandalan sistem sudah kelihatan, dan hasil energinya juga sudah signifikan," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×