Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
PLTS Atap yang akan dibangun terdiri dari 4 kategori, yakni S ( 5 kWp ke bawah), M ( 5 kWp - 25 kWp), L (25 kWp - 50 kWp), dan XL (lebih dari 50 kWp).
PLTS Atap tersebut rencananya akan dibangun di gedung pemerintah dan sosial. Termasuk rumah ibadah, panti asuhan, gedung heritage, museum, Rusunawa, fasilitas TNI/Polri, terutama yang berada di perbatasan atau daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, penggunaan PLTS Atap memang perlu dikembangkan guna mendorong pemanfaatan dan bauran energi terbarukan dalam kelistrikan.
Apalagi, harga modul surya maupun harga listrik yang dihasilkan dari PLTS atap semakin kompetitif. Fabby memberikan gambaran, harga modul surya di pasar internasional pada tahun 2015 rata-rata berada di angka US$ 0,55 - US$ 0,57 per Wp.
Baca Juga: OPEC+ rekomendasikan pemangkasan tambahan, harga minyak makin kokoh
Pada akhir 2019, harganya sudah turun menjadi US$ 0,20 - US$ 0,25 per Wp. Sedangkan untuk pasar Indonesia, Fabby mengatakan bahwa harga di Indonesia masih berkisar 30%-40% di atas pasar internasional.
"Harga modul turun 50%-60% dalam lima tahun terakhir. Harga modul tambah kompetitif, harga listriknya juga," ujar Fabby kepada Kontan.co.id, Jum'at (7/2).
Dalam perhitungannya, Fabby mengemukakan bahwa selama 25 tahun harga listrik dari modul surya tersebut cenderung stabil, sekitar Rp 400 per kWh.