Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produksi dan investasi di sektor batubara untuk tahun 2019 mendatang masih sulit untuk meningkat. Salah satu alasannya karena belum adanya dasar hukum yang jelas terkait dengan peralihan status para pemegang Perjanjian Kontrak Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu Patria Sjahrir mengungkapkan, belum jelasnya regulasi yang akan mengatur perpanjangan izin dan peralihan status itu bisa membuat ketidakpastian investasi dan membuat produksi tahun depan menjadi stagnan.
"Apa pun keputusan yang dibuat, kalau belum dibuat akan membuat ketidakpastian investasi, akan slow down, posisi tahun depan mungkin akan flat," ujar Pandu saat ditemui di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Selasa (18/12).
Apalagi, dalam periode tahun 2019 hingga 2026, terdapat delapan PKP2B Generasi I yang akan berakhir masa kontraknya, di mana banyak di antaranya yang termasuk perusahaan raksasa.
Sebut saja PT Kaltim Prima Coal yang masa berlaku PKP2B-nya akan habis pada 31 Desember 2021, PT Adaro Indonesia yang akan habis pada 1 Oktober 2022, PT Kideco Jaya Agung yang kontraknya hanya sampai 13 Maret 2023, PT Berau Coal yang masa kontraknya akan habis pada 26 April 2025.
Ada juga PT Arutmin Indonesia yang kontraknya akan berakhir pada 1 November 2020, PT Multi Harapan Utama yang habis kontraknya pada 1 April 2022, dan PT Kendilo Coal Indonesia yang kontraknya hanya berlaku hingga 13 September 2021.
Adapun, PKP2B yang akan habis kontrak dalam waktu dekat adalah PT Tanito Harum yang kontraknya akan habis pada 14 Januari 2019.
Menurut Pandu, kepastian perizinan dan durasi kontrak PKP2B ini penting. Sebab bukan hanya menyangkut masalah besaran produksi batubara, tapi juga harus mempertimbangkan pasokan batubara terhadap pembangkit listrik yang sudah tertera dalam RUTPL.
"Mengenai durasi, harusnya juga matching dengan pembangkit tenaga listrik," imbuhnya.