kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

APBI sebut sektor batubara tahun depan bakal flat, apa penyebabnya?


Rabu, 19 Desember 2018 / 07:30 WIB
APBI sebut sektor batubara tahun depan bakal flat, apa penyebabnya?


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produksi dan investasi di sektor batubara untuk tahun 2019 mendatang masih sulit untuk meningkat. Salah satu alasannya karena belum adanya dasar hukum yang jelas terkait dengan peralihan status para pemegang Perjanjian Kontrak Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu Patria Sjahrir mengungkapkan, belum jelasnya regulasi yang akan mengatur perpanjangan izin dan peralihan status itu bisa membuat ketidakpastian investasi dan membuat produksi tahun depan menjadi stagnan.

"Apa pun keputusan yang dibuat, kalau belum dibuat akan membuat ketidakpastian investasi, akan slow down, posisi tahun depan mungkin akan flat," ujar Pandu saat ditemui di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Selasa (18/12).

Apalagi, dalam periode tahun 2019 hingga 2026, terdapat delapan PKP2B Generasi I yang akan berakhir masa kontraknya, di mana banyak di antaranya yang termasuk perusahaan raksasa.

Sebut saja PT Kaltim Prima Coal yang masa berlaku PKP2B-nya akan habis pada 31 Desember 2021, PT Adaro Indonesia yang akan habis pada 1 Oktober 2022, PT Kideco Jaya Agung yang kontraknya hanya sampai 13 Maret 2023, PT Berau Coal yang masa kontraknya akan habis pada 26 April 2025.

Ada juga PT Arutmin Indonesia yang kontraknya akan berakhir pada 1 November 2020, PT Multi Harapan Utama yang habis kontraknya pada 1 April 2022, dan PT Kendilo Coal Indonesia yang kontraknya hanya berlaku hingga 13 September 2021.

Adapun, PKP2B yang akan habis kontrak dalam waktu dekat adalah PT Tanito Harum yang kontraknya akan habis pada 14 Januari 2019.

Menurut Pandu, kepastian perizinan dan durasi kontrak PKP2B ini penting. Sebab bukan hanya menyangkut masalah besaran produksi batubara, tapi juga harus mempertimbangkan pasokan batubara terhadap pembangkit listrik yang sudah tertera dalam RUTPL.

"Mengenai durasi, harusnya juga matching dengan pembangkit tenaga listrik," imbuhnya.

Senada dengan itu, Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk, Garibaldi Thohir pun menyebutkan bahwa dasar hukum yang jelas menjadi bagian dari kepastian hukum, dan ini sangat terkait dengan tingkat investasi yang kompetitif.

Pria yang akrab disapa Boy Thohir ini mengatakan, selain pada investasi, kepastian hukum ini pun nantinya akan bergulir pada aspek lainnya, seperti perolehan pajak dan penerimaan negara.

"Instrumen di mana antar negara itu bisa kompetitif apa nggak, karena kepastian hukum. Kalau nggak pasti, investor bisa lari ke negara lain. PKP2B yang ada sekarang itu memiliki kontrak yang mengikat," ujar Boy.

Menurut Boy, aturan PKP2B dan Kontrak karya (KK) yang menjadi dasar hukum PT freeport Indonesia tidak lah jauh berbeda dari segi contract of work.

Sehingga, jika Freeport pun bisa diberikan perpanjangan, maka ia pun yakin pemerintah akan memberikan kesempatan yang sama untuk para PKP2B.

"Kita harus melihat secara holistik. Kalau Freeport saja diberikan perpanjangan, masa perusahaan-perusahaan batubara yang hampir 100% dimilii oleh pegusaha nasional, nggak diberikan hak yang sama?," katanya.

Boy pun mengaku bahwa pihaknya bisa mengerti jika pemerintah menginginkan peningkatan royalti dan penerimaan negara.

Sehingga, ia mengkalim bahwa kepastian berusaha para pengusaha batubara ini bukan hanya untuk kepentingan pelaku usaha saja, tapi juga tetap berkontribusi kepada negara.

"Itu kepentingan bersama, karena kalau dialihkan, perlu proses, listrik juga bisa mati (karena kekurangan supply batubara)" ungkapnya.

Yang jelas, hingga saat ini, Boy mengatakan bahwa pihaknya belum mengajukan proses perpanjangan. Sebab, menurut peraturan yang berlaku saat ini, PKP2B baru bisa mengajukan perpanjangan paling cepat dua tahun sebelumnya paling lambat enam bulan sebelum habis kontrak.

Adapun, saat ini, pemerintah masih menggodok revisi keenam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 yang pada pokoknya mengatur tentang perpanjangan perizinan dan perubahan status dari PKP2B menjadi IUPK.

Sejalan dengan itu, pemerintah pun akan menerbitkan PP mengenai penerimaan negara dari sektor usaha batubara. Saat ini, revisi PP itu telah selesai proses harmonisasi dan berada di Sekretariat Negara (Setneg) untuk menunggu persetujuan dari Presiden.

Selain itu, Pandu pun menyebut bahwa evaluasi Domestic Market Obligation (DMO) menjadi alasan lain mengapa produksi batubara tahun depan diproyeksikan stagnan. Sebab, evaluasi pemenuhan DMO harus menunggu akhir Desember terlebih dulu.

"Jadi kalau untuk tahun ini total 500 juta ton, ekspektasi masih bisa dibentuk. DMO, Januari harus diputuskan," katanya.

Asal tahu saja, hingga bulan November, realisasi produksi batubara mencapai 441,85 juta ton, atau setara dengan 91% dari target produksi batubara dalam RKAB tahun 2018 sebesar 485 juta ton.

Namun, untuk menggenjot ekspor, target itu pun mendapatkan penambahan sebesar 21,9 juta ton sehingga menjadi 506,9 juta ton, dengan catatan bahwa penambahan itu tidak dikenai kewajiban DMO.

Dari realisasi produksi sebesar 441,85 juta ton per November itu, jumlah pemasarannya sebesar 426,27 juta. Data tersebut berasal dari PKP2B dan IUP OP yang melaporkan sampai November, sedangkan untuk IUP daerah baru melaporkan hingga September.

Sedangkan untuk realisasi DMO, hingga November, realisasinya baru mencapai 100,37 juta ton atau sekitar 83% dari target DMO sebesar 121 juta ton. Dengan rincian 82,3 juta ton untuk kelistrikan dan 18,07 untuk keperluan industri lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×