Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendorong Pemerintah untuk mengawasi implementasi PP Nomor 49 tahun 2025.
API menilai bahwa PP yang dikeluarkan pada tanggal 17 Desember 2025 tersebut menjadi pisau bermata dua yang bisa melukai kedua belah pihak yaitu kalangan buruh sekaligus kalangan dunia usaha, meskipun dalih yang digunakan pemerintah adalah menjaga daya beli pekerja atau buruh, namun pemerintah mustinya juga menjaga daya tahan dunia usaha.
Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif API mengatakan, pada intinya, menjaga daya beli pekerja adalah penting, namun daya tahan dunia usaha wajib pula harus diperhatikan.
“Karena pada dasarnya, pemberi kerja adalah dunia usaha, bukan pemerintah secara langsung, sehingga kalau pemerintah hanya memperhatikan kepentingan pekerja atau buruh secara sepihak, maka dunia usaha akan tidak mampu bertahan dan akhirnya mengurangi jumlah pekerja dan kemudian dampaknya pastilah pemutusan hubungan kerja serta penyerapan tenaga kerja semakin merendah,” kata yang juga Dewan Pakar Apindo ini dalam keterangan resminya, Jumat (19/12/2025).
Baca Juga: Industri Tekstil Masih Kontraksi, Kemenperin & Pengusaha Ungkap Fakta Berikut Ini
Sebagaimana dipahami bersama, lanjut Danang, pengaturan pengupahan di Indonesia tidak membedakan jenis industri. Antara industri sektor padat karya dan sektor padat teknologi adalah dua dimensi yang berbeda.
“Sektor padat karya menampung pekerja dalam jumlah besar dan lentur dengan ketersediaan tenaga kerja berpendidikan rendah menengah. Tetapi sektor padat teknologi membutuhkan tenaga kerja selektif berpendidikan tinggi dan dalam jumlah yang lebih sedikit. Karena itu, mustinya saat ini pemerintah bisa menerbitkan kebijakan yang berbeda untuk sektor yang berbeda. Hal ini tetap akan bisa dilakukan tanpa mengesampingkan kesejahteraan pekerja,” tuturnya.
Terkait industri padat karya tekstil dan garment, secara khusus asosiasi pertekstilan menyampaikan kekhawatiran massal dari para pengusaha tekstil dan garment.
Danang menyampaikan ada 3 hal yang harus benar-benar dipertimbangkan oleh Pemerintah Presiden Prabowo, pertama adalah kebijakan kenaikan upah pekerja sebesar 6,5%. Kata Danang, kebijakan itu sudah mengakibatkan keruntuhan beberapa industri tekstil dan garmen skala nasional.
“Apalagi ditambah kenaikan nanti pada tahun 2026, berapa lagi korban industri tekstil dan garmen yang akan berjatuhan? Korban pertama adalah para pekerja, alih alih mendapatkan kenaikan pendapatan, justru malah kehilangan mata pencaharian,” sebutnya.
Baca Juga: Peluang Merajut Kembali Industri Tekstil, Sejumlah Asosiasi Menyoroti Hal Berikut Ini
Kedua, yaitu produk-produk tekstil dan garmen impor. Hal ini akan menghantam produk industri padat karya dalam negeri karena akan terjadi predatory pricing yang tidak akan mampu dikontrol pemerintah.
Produsen tekstil dan garmen akan secara alami terdorong untuk mengurangi kerugian dari dampak kenaikan biaya produksi dan banjir importasi barang jadi.
Terkait masalah importasi barang jadi berupa tekstil garmen ini, API melihat masih terdapat celah regulasi melalui penggunaan IKM skala kecil untuk melakukan perdagangan dan distribusi barang impor secara luas di pasar domestik dengan beban pajak yang sangat minimal.
Skema ini pada awalnya ditujukan untuk mendukung UMKM produktif dan penciptaan nilai tambah domestik tersebut kemudian malah berpotensi menyimpang dari tujuan awalnya, menimbulkan distorsi persaingan usaha, serta melemahkan daya saing industri dalam negeri yang menjalankan kewajiban perpajakan secara proporsional.
Masalah ini berangkat dari pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 23 Tahun 2018, dimana penghasilan dari usaha Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu dikenakan PPh Final sebesar 0,5%, yang menurut Pasal 3 ayat (1) berlaku bagi Orang Pribadi maupun Badan dengan omzet hingga Rp 4,8 miliar per tahun, tanpa pembedaan jenis kegiatan usaha maupun asal barang, hal ini juga diatur oleh UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Sementara, kepatuhan IKM dan UMKM terhadap regulasi ketenegakerjaan juga disinyalir minimalis.
Ketiga, Danang menyampaikan bahwa penggunaan alfa sebagai amanat PP 46 tahun 2025 dengan rentang nilai alpha (?) sebesar 0,5 hingga 0,9 itu didelegasikan kepada Gubernur dan masukan Bupati dan Walikota.
Baca Juga: PHK Massal Hantui Industri Tekstil, Tertekan Produk Impor yang Lebih Murah
“Hal delegatif ini akan mengakibatkan terjadinya lagi potensi politisasi upah menjadi bagian politik praktis demi kekuasaan, bukan benar benar dilandasi kepentingan pertumbuhan iklim investasi dan ekonomi. Artinya, pemerintah pusat masih gamang menetapkan kebijakan nasional yang kokoh dalam politik pembangunan ekonomi negara,” ujarnya.
Tiga hal tersebut, menurut API, perlu mendapatkan atensi setulusnya dari berbagai kalangan, termasuk pemerintah dan pekerja. ”Kepentingan nasional adalah menciptakan iklim investasi, serapan tenaga kerja dan diiringi pertumbuhan ekonomi yang mampu menyejahterakan semua kalangan masyarakat, baik pekerja maupun pengusaha. Dalam forum tripartit nasional, dunia usaha sudah mengusulkan agar nilai alpha (?) berada pada kisaran 0,1 hingga 0,5, hal ini sudah memperhatikan kepentingan pekerja,” imbuhnya.
Terlebih, tambah Danang, kenaikan upah meskipun diarahkan kepada pekerja tahun pertama, pasti akan dibarengi dengan kenaikan upah sundulan berdasarkan skala SUSU (Struktur dan Skala Upah), dan kenaikan upah pasti dibarengi dengan kenaikan tunjangan wajib misalnya BPJS yang saat ini masih berdasarkan prosentase penghasilan. Jadi, bertambahnya beban perusahaan menurut Danang tidak hanya dari kenaikan upah, tetapi kenaikan-kenaikan lain yang diakibatkan.
Baca Juga: Tarik Investasi, Pelaku Industri Tekstil Didorong untuk Jaga Iklim Usaha
Selanjutnya: Bumi Resources (BUMI) Akuisisi Tambang Emas Jubilee, Begini Rekomendasi Sahamnya
Menarik Dibaca: Tips Merayakan Natal Tanpa Repot, Fokus Berbagi dan Kebersamaan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













