kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.415.000   2.000   0,08%
  • USD/IDR 16.675   -17,00   -0,10%
  • IDX 8.549   40,08   0,47%
  • KOMPAS100 1.182   8,55   0,73%
  • LQ45 851   5,37   0,64%
  • ISSI 303   2,00   0,67%
  • IDX30 439   2,95   0,68%
  • IDXHIDIV20 506   2,43   0,48%
  • IDX80 132   0,73   0,55%
  • IDXV30 138   0,41   0,30%
  • IDXQ30 139   0,76   0,55%

Industri Tekstil Masih Kontraksi, Kemenperin & Pengusaha Ungkap Fakta Berikut Ini


Senin, 01 Desember 2025 / 15:41 WIB
Industri Tekstil Masih Kontraksi, Kemenperin & Pengusaha Ungkap Fakta Berikut Ini
ILUSTRASI. Kontraksi Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada industri tekstil dua bulan beruntun terjadi akibat penurunan pada industri yang berorientasi ekspor.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat Indeks Kepercayaan Industri (IKI) bulan November 2025 masih berada di zona ekspansi pada level 53,45. Dari 23 sub sektor industri manufaktur yang dianalisis, hanya Industri Tekstil (KBLI 13) yang mengalami kontraksi.

Kondisi ini serupa dengan survei IKI pada bulan Oktober 2025. Artinya, dalam dua bulan beruntun industri tekstil menjadi satu-satunya sub sektor manufaktur yang mengalami kontraksi.

Analisis dari Kemenperin mengungkap sejumlah faktor yang masih menekan industri tekstil. Faktor utama penyebab kontraksi adalah permintaan yang masih lesu. Kondisi ini terjadi di tengah kenaikan harga bahan baku dan bahan penolong yang mengerek harga jual. Sejumlah produsen pun melaporkan penjualan ritel mengalami penurunan.

Kontraksi juga terjadi pada industri penyempurnaan kain karena kondisi stok di pasar kain jadi yang masih melimpah. Secara umum, industri tekstil dalam posisi bertahan untuk bisa menjaga stabilitas di tengah kenaikan kurs dolar Amerika Serikat dan peningkatan inflasi sejak triwulan ketiga.

Baca Juga: Lima Pabrik Tekstil Tutup, 3.000 Pekerja Terancam PHK Akibat Serbuan Impor

Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, kontraksi IKI industri tekstil dua bulan beruntun terjadi akibat penurunan pada industri yang berorientasi ekspor. Sedangkan industri tekstil yang berorientasi ke pasar domestik mengalami ekspansi.

Febri menyampaikan, sebagian industri yang berorientasi ekspor berada di kawasan berikat. Dia pun menyoroti produk-produk tekstil dari kawasan berikat yang masuk ke pasar dalam negeri. Padahal, produk dari kawasan berikat seharusnya berorientasi ke pasar ekspor.

Kondisi ini membuat persaingan di pasar domestik semakin ketat. Febri berharap ada kompetisi yang adil. Pasalnya, industri yang berada di kawasan berikat mendapatkan sejumlah insentif seperti fasilitas kemudahan bea masuk bahan baku impor dan penundaan pajak pertambahan nilai.

"Jadi kalau produk (dari kawasan berikat) masuk ke pasar domestik, produk itu akan bersaing dengan produk dari industri yang di luar kawasan berikat. Itu membuat sulit bersaing," ungkap Febri dalam rilis IKI November 2025 pada Kamis (27/11/2025).

Tantangan & Peluang Industri TPT

Pelaku usaha yang bergerak di Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) turut memotret sederet tantangan yang membayangi sektor ini. Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) David Leonardi menyoroti bahwa IKI bisa menjadi indikator yang mengukur tingkat optimisme atau pesimisme pelaku industri terhadap kondisi usahanya.

Salah satu penyebab utama memburuknya keyakinan pelaku industri adalah maraknya impor ilegal yang menekan permintaan di pasar domestik. Fenomena ini berdampak langsung pada penurunan utilisasi dan aktivitas produksi industri TPT Indonesia.

"Jika industri TPT tercatat sebagai satu-satunya sektor yang mengalami kontraksi, hal ini menunjukkan bahwa pelaku industri TPT sedang berada dalam kondisi pesimis terhadap prospek usahanya," ungkap David kepada Kontan.co.id, Senin (1/12/2025).

Baca Juga: Industri Tekstil Masih Kontraksi, IKI November 2025 Menyusut 0,05 Poin Jadi 53,45

David menegaskan pentingnya peran pemerintah untuk membangun ekosistem industri yang sehat dan kompetitif. "Tanpa dukungan ekosistem yang memadai, kondisi industri akan tetap stagnan bahkan berpotensi memburuk, yang tercermin dalam kontraksi IKI," imbuh David.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Farhan Aqil Syauqi menyoroti tekanan yang menimpa industri hulu tekstil. Sepanjang tahun 2025, ada lima pabrik yang telah stop produksi hingga menutup usahanya.

Akibatnya, APSyFI memperkirakan terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 3.000 karyawan. "Banjir produk impor dengan harga dumping berupa kain dan benang jadi faktor utama tutupnya perusahaan ini. Saat ini, enam pabrik lain produksinya sudah di bawah 50%, bahkan sudah ada yang on-off. Lima mesin polimerisasi sudah stop, tidak produksi lagi,” ungkap Farhan.

Menurut Farhan, masalah utama industri hulu tekstil saat ini adalah kepastian pasar domestik yang menjadi tumpuan utama. Gempuran produk impor dengan harga dumping yang murah membuat produk dari industri hulu tekstil nasional tidak kompetitif.

Saat ini, pasar domestik masih belum pulih karena stok barang impor masih banyak. "Jika konsumsi masyarakat ada tanda ke arah pemulihan, maka barang-barang stok impor ini yang dikonsumsi terlebih dahulu," kata Farhan.

Akhir tahun ini akan menjadi momentum krusial, karena terkait dengan perpanjangan kuota impor. Jika pemerintah tidak bisa mengontrol kouta impor, maka sejumlah anggota APSyFI bisa kembali stop produksi atau menutup operasionalnya. "Kami juga perlu transparansi berapa jumlah kouta impor yang diberikan agar kami bisa merencanakan berapa banyak yang bisa kami produksi di tahun depan," tegas Farhan.

Baca Juga: Menperin Sambut Ekspansi Pabrik Tekstil Citra Terus Makmur Senilai Rp 500 Miliar

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI) Anne Patricia Sutanto melihat kondisi industri TPT Indonesia saat ini berada di fase transisi penting. Setelah dua tahun terakhir menghadapi tekanan berat terutama karena pelemahan daya beli global dan gempuran impor ilegal, sektor TPT mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan.

Hanya saja, pemulihan ini tidak datang secara seragam. Sektor hilir seperti garmen, apparel, dan alas kaki mulai bergerak lebih cepat. Order domestik meningkat, beberapa pasar ekspor kembali membuka ruang, dan tingkat optimisme pelaku industri kembali terlihat.

Di sisi lain, sektor hulu masih berjuang. Tampak dari sejumlah pabrik serat dan benang yang bekerja dengan utilisasi di bawah 50%. "Tapi dalam beberapa bulan terakhir, trennya mulai membaik. Ada pulse positif yang muncul: permintaan meningkat, pasar lebih stabil, dan kebijakan pemerintah terhadap impor ilegal mulai terasa dampaknya," ungkap Anne.

Anne melihat salah satu perubahan yang signifikan adalah penertiban impor tekstil dan pakaian bekas ilegal. Selama bertahun-tahun, Anne yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ini memandang persoalan impor tekstil dan pakaian bekas ilegal seperti “lubang besar” yang merusak struktur industri.

Anne menegaskan, penegakan hukum yang lebih tegas, transparan, dan terukur bakal berdampak langsung bagi industri. Aksi ini membawa angin segar yang membuat pabrik mulai meningkatkan shift produksi, penyerapan tenaga kerja lebih stabil, serta pelaku industri merasa lebih percaya diri untuk kembali berinvestasi.

"Jika kebijakan protektif, penegakan hukum, dan transformasi industri bisa berjalan bersamaan, kami yakin pada tahun 2026 industri TPT Indonesia dapat kembali ke jalur pertumbuhan yang lebih stabil. Sinyal-sinyal awal ke arah itu sudah mulai terlihat," tandas Anne.

Baca Juga: Menperin Optimistis Ekspansi Perusahaan Tekstil Sinyal Positif bagi Industri TPT

Selanjutnya: OJK Sambut Baik Usulan Program Pensiun untuk Atlet dan Pelatih, Ini Alasannya

Menarik Dibaca: Promo PSM Alfamart Periode 1-7 Desember 2025, Es Krim Wall’s Feast Beli 2 Gratis 1

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×