kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.354.000   33.000   1,42%
  • USD/IDR 16.675   0,00   0,00%
  • IDX 8.304   29,60   0,36%
  • KOMPAS100 1.153   2,59   0,23%
  • LQ45 831   2,56   0,31%
  • ISSI 292   0,33   0,11%
  • IDX30 436   2,87   0,66%
  • IDXHIDIV20 499   3,95   0,80%
  • IDX80 128   0,02   0,01%
  • IDXV30 137   0,20   0,14%
  • IDXQ30 139   0,53   0,39%

Peluang Merajut Kembali Industri Tekstil, Sejumlah Asosiasi Menyoroti Hal Berikut Ini


Kamis, 23 Oktober 2025 / 20:54 WIB
Peluang Merajut Kembali Industri Tekstil, Sejumlah Asosiasi Menyoroti Hal Berikut Ini
ILUSTRASI. Seorang karyawan baru Duniatex tengah bekerja di lini produksi tekstil. Selama dua tahun terakhir, Duniatex melakukan penambahan 5.000 tenaga kerja baru menjadi bagian dari strategi ekspansi perusahaan di tengah tren pemulihan industri manufaktur tekstil nasional.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) menyambut upaya pemerintah memperkuat perlindungan pasar dalam negeri dari banjir barang impor. Ada dua aksi dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang menarik perhatian pelaku industri.

Pertama, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67 Tahun 2025 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atas Impor Produk Benang Kapas. Kedua, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang menegaskan komitmennya untuk menghentikan praktik impor ilegal pakaian bekas atau balpres yang selama ini marak beredar di pasar dalam negeri. 

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta memprediksi PMK No. 67/2025 bisa mengerek kinerja industri pemintalan, yang saat ini tingkat utilisasinya masih di bawah 45%. Hanya saja, tingkat utilisasi tidak akan melonjak signifikan lantaran penggunaan kapas saat ini hanya mengisi 30% dari total konsumsi industri pemintalan.

Meski begitu, Redma berharap PMK No. 67/2025 serta kebijakan pengamanan (safeguard) lainnya bisa mendongkrak permintaan, yang kemudian akan mengerek naik utilisasi industri dalam negeri. "Dengan PMK ini dan safeguard kain sebelumnya, demand bisa naik sampai 50%. Tapi masih butuh waktu, mengingat stok kain impor di pasar masih besar," kata Redma saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (23/10/2025).

Baca Juga: Industri Tekstil & Alas Kaki Masih Hadapi Tantangan Meski Ada Pemulihan Ekspor

Redma melanjutkan, penghentian impor balpres akan signifikan mendongkrak utilisasi industri hilir, yang kemudian akan berimbas pada industri antara dan hulu. APSyFI memantau bahwa impor balpres dalam setahun terakhir semakin marak. Bukan hanya pakaian bekas, namun juga pakaian baru.

APSyFI memperkirakan sekitar 20.000 ball dalam 300 kontainer per bulan impor pakaian masuk secara ilegal. Jumlah itu mencapai sekitar 21 juta potong pakaian. Redma menanti ketegasan pemerintah untuk menghentikan impor pakaian ilegal, sehingga bisa menghidupkan industri TPT dalam negeri.

"Ini sangat penting agar industri hilir Indonesia, khususnya orientasi pasar domestik yang didominasi oleh industri kecil menengah bisa pulih lebih dahulu, sehingga bisa meningkatkan demand bagi industri antara dan industri hulu," tegas Redma.

Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anne Patricia Sutanto mengatakan penindakan terhadap impor balpres atau pakaian bekas ilegal merupakan langkah yang tepat. Anne menegaskan pelaku industri TPT nasional siap memenuhi kebutuhan dalam negeri sebagai substitusi terhadap pakaian bekas ilegal yang selama ini beredar di pasar.

"Dengan dukungan kebijakan pemerintah yang konsisten, penindakan impor balpres dapat menjadi bagian penting dari upaya membangun ekosistem pasar domestik yang sehat dan berdaya saing," kata Anne, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI).

Anne juga menyambut hadirnya PMK No. 67/2025. Beleid ini bisa membawa dampak positif, terutama dalam aspek fasilitasi arus bahan baku dan insentif fiskal bagi pelaku usaha TPT. Regulasi ini bisa membantu menjaga likuiditas industri, serta memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk tetap mempertahankan produksi dan tenaga kerja. 

Baca Juga: Pengusaha Nilai Permendag 17/2025 Dorong Kebangkitan Industri Konveksi Lokal

Hanya saja, Anne memberikan catatan efektivitas PMK ini sangat bergantung pada sinkronisasi dengan kebijakan perdagangan dan industri, khususnya dalam penentuan HS Code, tata niaga impor bahan baku, serta percepatan restitusi pajak. Anne kemudian mengingatkan bahwa industri TPT merupakan sektor yang dinamis dan sensitif terhadap perubahan geopolitik, rantai pasok, serta kebijakan perdagangan internasional.

Oleh sebab itu, pelaku industri TPT berharap agar kebijakan lanjutan dapat dirancang lebih menyeluruh, terintegrasi antar kementerian, dan adaptif terhadap konsep global supply chain. "Pendekatan kebijakan yang responsif dan berbasis data akan memastikan daya saing industri TPT Indonesia tetap terjaga di tengah tekanan global yang semakin kompleks," jelas Anne.

Anne pun mendorong agar Kemenkeu, Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melakukan kajian lintas sektor yang berkelanjutan dengan basis data bersama (common shared data) mengenai kapasitas produksi, utilisasi industri, dan kebutuhan ekspor-impor TPT nasional. 

"Dengan demikian, setiap kebijakan fiskal dan perdagangan yang dikeluarkan dapat bersifat fleksibel, adaptif, dan tepat sasaran tidak hanya menjaga stabilitas industri dalam negeri, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di rantai pasok global," tegas Anne.

Kinerja Industri Tekstil

Dari sisi kinerja industri, Kemenperin mengklaim bahwa sub sektor industri tekstil dan pakaian jadi masih mampu melaju. Kemenperin mencatat sub sektor ini mengalami pertumbuhan 5,39% pada periode Oktober 2024 - Juni 2025.

Baca Juga: Pebisnis Konveksi Desak Bea Cukai Perketat Pengawasan Impor Pakaian Ilegal

Pada periode yang sama, industri tekstil dan pakaian jadi menarik investasi senilai Rp 16,43 triliun dan membukukan nilai ekspor sebesar US$ 11,19 miliar. Sedangkan rata-rata utilisasi industri tekstil dan pakaian jadi berada di level 65,37% dari Oktober 2024 - Agustus 2025.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan bahwa pemerintah terus berupaya mendorong pertumbuhan industri tekstil. Salah satunya melalui pertimbangan yang lebih ketat terhadap neraca industri dan perdagangan, dengan memetakan kemampuan produksi industri dalam negeri dan kebutuhan pasar.

Menurut Agus, hal ini penting untuk mencegah produk impor membanjiri pasar, sehingga produk dalam negeri bisa lebih terlindungi. "Kami ingin memberikan kesempatan lebih banyak lagi bagi industri nasional untuk mengisi neraca tersebut," ungkap Agus.

Sementara itu, Redma tidak menampik data Kemenperin yang mencatat adanya pertumbuhan di sub sektor industri tekstil dan pakaian jadi. Namun, Redma memberikan dua catatan terhadap data pertumbuhan industri tekstil.

Pertama, Redma mengingatkan bahwa angka neraca perdagangan tidak memasukkan importasi ilegal yang memang tidak tercatat di Bea Cukai. Redma khawatir importasi ilegal yang masuk ke pasar akhirnya ikut dihitung, sehingga seolah-olah ada pertumbuhan produksi.

Kedua, dari sisi investasi, Redma melihat bahwa salah satu pendorongnya adalah ekspansi mesin. Padahal, mesin yang datang pada tahun 2025 bukan sepenuhnya investasi baru, melainkan mesin-mesin yang telah dipesan pada tahun-tahun sebelumnya.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa menyoroti hal yang sama. Jemmy menilai pertumbuhan industri tekstil bukan semata-mata karena kinerja produksi dan perdagangan saja, melainkan turut mengakumulasi rencana investasi dari tahun sebelumnya.

Baca Juga: APSyFI Ungkap Utilisasi TPT Nasional di Bawah 50%

Jemmy bilang, sejumlah pelaku industri telah melakukan pemesanan mesin pada tahun 2021 - 2022, yang baru tiba di Indonesia pada tahun 2024 dan 2025. "Jadi pada tahun lalu dan tahun ini beberapa perusahaan kapasitas terpasangnya bertambah, jadi tercatat tumbuh," ungkap Jemmy.

Secara industri, Jemmy berharap pemerintah bisa mendorong pemulihan sub sektor tekstil melalui dua cara. Yaitu pemberantasan impor ilegal serta kebijakan yang bisa menggerakkan ekonomi dan menguatkan daya beli masyarakat.

"Jadi tantangannya daya beli dan perlindungan. Kalau daya beli lemah, hasil produksi industri mau dijual kemana? Lalu perlindungan, karena produk yang tidak terserap di negara produsen akan membanjiri negara yang lemah perlindungannya lewat impor legal maupun ilegal," terang Jemmy.

Sementara itu, Anne melihat secara umum kondisi industri TPT relatif stabil dengan potensi bergerak pada tren positif. Apindo dan AGTI melihat peluang pertumbuhan yang lebih besar pada tahun depan. 

Namun perlu ada kepastian regulasi ketenagakerjaan, iklim investasi yang lebih kondusif, serta peningkatan efisiensi logistik dan biaya energi. Anne menegaskan hal-hal itu merupakan faktor penentu bagi industri padat karya seperti garment dan tekstil untuk meningkatan daya saing lokal dan global.

"Dengan adanya komitmen pemerintah terhadap deregulasi, peningkatan ease of doing business, serta percepatan implementasi kebijakan fiskal dan industri yang lebih sinkron, kami meyakini potensi pertumbuhan tersebut masih bisa terus ditingkatkan," tandas Anne.

Baca Juga: Industri Tekstil Hadapi PHK Massal, Apindo Dorong Cari Solusi Bersama

Selanjutnya: Ada Potensi Hujan Sangat Lebat, Ini Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok di Jabodetabek

Menarik Dibaca: Ada Potensi Hujan Sangat Lebat, Ini Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok di Jabodetabek

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×