Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nikel Indonesia berharap pada peningkatan harga tahun depan usai rencana pemangkasan produksi melalui Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2026.
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey menyebut, dalam pertemuan terbaru APNI dengan Nickel Study Group (INSG), surplus nikel tahun 2025 yang sebesar 209 metrik ton akan berlanjut hingga tahun 2026. Bahkan diprediksi melebar ke angka 261 metrik ton.
"Tahun ini kan ada surplus 209 (metrik ton). Kalau tahun depan sesuai prediksi, waktu kita meeting dengan Nickel Study Group, 261 metrik ton," ungkap Meidy dikutip Senin (29/12/2025).
Ia menambahkan 65% dari potensi surplus ini berasal dari Indonesia, karena saat ini Indonesia menguasai 65% produksi nikel dunia.
Baca Juga: Pertamina International Shipping dan PAL Menjajaki Kerjasama di Bidang Kapal
Dengan besarnya pengaruh Indonesia, Meidy bilang pemangkasan produksi nikel melalui RKAB akan sangat mempengaruhi harga nikel global.
"Iya, ini rencana. Dalam, tahun depan produksi 250 (metrik ton), pemerintah gitu (rencana). Kalau dibandingkan produksi 379 (metrik) tahun ini," tambah Meidy.
Dengan pemotongan RKAB artinya akan ada pengendalian produksi yang diharapkan akan mendorong harga nikel di atas rata-rata sekarang.
Adapun dalam catatan Trading Economic, harga nikel dunia bervariasi tergantung jenis produk dan pasar, namun saat ini menjelang akhir 2025, harga Nickel Pig Iron (NPI) Free On Board (FOB) di kisaran US$ 110/ton, High-Grade Nickel Matte FOB sekitar US$ 13.200/ton, dan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) FOB sekitar US$ 12.900/ton.
"Kalau produksi terlalu over kan harga pasti turun ya. Kalau kita sih bilang emang pengen nahan. Biar harga naik dong," tambahnya.
Di sisi lain, tahun depan nikel masih akan berhadapan dengan beberapa beberapa peraturan baru, baik yang berkaitan dengan peraturan Harga Patokan Mineral (HPM) terbaru untuk komoditas tambang.
Baca Juga: Ada Program B50, Ekspor CPO Bisa Susut 5%-10% pada 2026
Serta yang menurut Meidy cukup memberatkan adalah penetapan denda administrasi dalam kegiatan usaha tambang yang tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 391.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Tarif Denda Administratif Pelanggaran Kegiatan Usaha Pertambangan di Kawasan Hutan Untuk Komoditas Nikel, Bauksit, Timah dan Batubara.
Untuk diketahui, dibanding jenis mineral lain, nilai denda yang ditetapkan Kementerian ESDM kepada komoditas nikel paling besar yaitu besar Rp 6,5 miliar per hektar dibandingkan dengan komoditas minerba lainnya, dengan perbandingan sebagai berikut.
Menetapkan besaran tarif denda administratif sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU, dengan rincian sebagai berikut:
- komoditas nikel sebesar Rp6.502.000.000,00 per hektare;
- komoditas bauksit sebesar Rp1.761.000.000,00 per hektare;
- komoditas timah sebesar Rp1.251.000.000,00 per hektare; dan
- komoditas batubara sebesar Rp354.000.000,00 per hektare.
Menurut Ketua Umum APNI, Komjen Pol (Purn) Nanan Soekarna pihaknya tidak mengetahui secara rinci mengenai formulasi perhitungan dari denda yang dimaksud dalam Kepmen.
Untuk mengetahui formulasi tersebut, Nanan bilang pihaknya bersama FINI tengah melayangkan surat kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan Menteri-menteri terkait penjelasan dari formulasi denda.
Baca Juga: Prospek Batubara 2026: Antara Pengaruh Harga Global dan Peran Bagi Penerimaan Negara
"Dalam draft surat kami kan nanti salah satunya itu (formulasi dan nilai denda) yang akan kita tanyakan ke pemerintah. Supaya kami juga anggota dari APNI dan FINI mengetahui formulasi dan perhitungannya seperti apa," ungkap Nanan saat ditemui di agenda APNI yang dilaksanakan di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (16/12/2025)
Di sisi lain, Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) saat ini adalah Arif Perdana Kusumah, mengatakan hal serupa, bahwa dasar perhitungan denda melalui keputuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perlu dijabarkan lebih rinci.
"Ini bukan forum penolakan, tapi konsolidasi, mendapatkan masukan-masukan dari anggota, kemudian kita formulasikan, itu menjadi masukan ke pemerintah agar supaya memajukan industri unik ke Indonesia ke depan. Itu sih sebenarnya," ungkap Arif.
Selanjutnya: Outlook Industri Migas 2026: Investasi Dikejar, Target Lifting Diuji Lapangan Tua
Menarik Dibaca: Kenali Growth Mindset Biar Kualitas Hidup Meningkat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













