Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mencermati kebijakan pembukaan pasar lokal bagi perusahaan penerima fasilitas Kawasan Berikat (KB), serta fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) pembebasan dan IKM.
Direktur Eksekutif Aprisindo, Firman Bakrie menilai substitusi pasar pasar ekspor ke pasar lokal untuk perusahaan penerima fasilitas KB, KITE pembebasan, dan IKM akan sulit untuk dilakukan.
Baca Juga: Jelang Ramadan, transaksi belanja online diprediksi melonjak
Seperti diketahui, Kementerian Keuangan belum lama ini menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 31/PMK.04/2020 tentang Insentif Tambahan untuk Perusahaan Penerima Fasilitas Kawasan Berikat (KB) dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) untuk Penanganan Dampak Bencana Penyakit Virus Corona (Coronavirus Disease 2019/Covid-19). Aturan ini disahkan per tanggal 13 April 2020.
Beberapa poin yang ada dalam beleid ini memberi kelonggaran bagi perusahaan penerima fasilitas KB, KITE pembebasan, dan KITE IKM untuk menggarap ataupun memperbesar porsi penjualan di lokal.
Untuk perusahaan penerima fasilitas KB misalnya, diperbolehkan menjual hasil produksi dalam negeri tanpa mengurangi kuota penjualan tahun berjalan. Beleid sebelumnya, penjualan dibatasi kuota 50% dari nilai ekspor.
Sementara itu, perusahaan penerima fasilitas KITE pembebasan dan KITE IKM diperbolehkan menjual hasil produksi ke dalam negeri paling banyak 50% dari nilai ekspor tahun sebelumnya. Padahal, aturan lama menyebut bahwa KITE pembebasan tidak diperbolehkan menjual hasil produksi ke dalam negeri. Sedangkan KITE IKM hanya diperbolehkan menjual hasil produksi ke dalam negeri sebanyak 25%.
Baca Juga: Ramayana Lestari Sentosa (RALS) Merana Karena Corona
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie mengungkapkan substitusi pasar ekspor ke pasar lokal untuk perusahaan penerima fasilitas KB, KITE pembebasan, dan IKM akan sulit untuk dilakukan oleh pelaku industri sepatu, sebab pasar ekspor dan lokal memiliki segmentasi yang berbeda.
Di samping itu, Firman menilai perbedaan harga juga akan menjadi kendala. “Dari sisi harga barang-barang untuk tujuan ekspor kalau dijual di pasar lokal juga pasti kemahalan,” kata Firman kepada Kontan.co.id pada Jumat (17/4).
Di samping itu, pelaku industri sepatu juga tengah menghadapi persoalan harga dan ketersediaan bahan baku. Menurut catatan Firman, beberapa pemain tertentu memang masih memiliki stok ketersediaan bahan baku yang cukup untuk menunjang kegiatan produksi.
Meski begitu, di lain pihak, terdapat pula beberapa pemain yang sudah mulai kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku. Hal ini salah satunya dipicu oleh terkendalanya pengiriman bahan baku impor dari China pada medio Februari-Maret 2020 lalu akibat penerapan lockdown di China untuk bahan baku yang memang diperoleh secara impor.
Baca Juga: Wabah virus corona (Covid-19) ancam penjualan produsen sepatu ini
Di samping itu, di pasar lokal, beberapa pedagang bahan baku sudah memutuskan untuk menutup sementara kegiatan operasional bisnisnya akibat pasar yang sepi. Di sisi lain, persoalan harga yang melonjak akibat pelemahan nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga turut mempersulit produsen lokal untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya.
Padahal, proporsi bahan baku sepatu dalam total kebutuhan bahan baku produsen sepatu lokal memiliki porsi yang tidak sedikit, yakni sekitar 50%-60% dari total kebutuhan bahan baku. Adapun beberapa contoh bahan baku yang diimpor antara lain seperti tekstil, kulit sintetis, komponen seperti besi untuk lubang tali sepatu, dan lain-lain.
Sejumlah bahan baku ini terpaksa diperoleh secara impor lantaran memang tidak tersedia di dalam negeri, tersedia di dalam negeri namun memiliki kualitas yang tidak sesuai, atau memiliki harga yang lebih kompetitif bila dibandingkan dengan bahan baku di lokal. “Masalahnya kalau ada satu bagian bahan baku saja tidak ada kita tidak bisa produksi,” jelas Firman (17/4).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News