Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) mengatakan, ekspor biodiesel akan sulit dilakukan pada awal tahun 2020 ini. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan produksi biodiesel di dalam negeri.
Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan mengatakan, saat ini kapasitas terpasang industri biodiesel di dalam negeri mencapai 12 juta kiloliter. Namun, biasanya kapasitas produksi hanya sekitar 85% atau hanya sekitar 10 juta kiloliter.
Baca Juga: Gapki catat konsumsi minyak sawit dalam negeri tumbuh 23,57% selama 2019
Sementara, Indonesia masih harus memenuhi kebutuhan biodiesel di dalam negeri yakni sekitar 9,6 juta kiloliter di tahun ini. Hal ini disebabkan program mandatori B30 yang diperkirakan akan menyerap biodiesel dalam jumlah yang besar.
Paulus menjelaskan, memang tahun ini terdapat produsen biodiesel yang akan menambah kapasitas produksi dan yang akan membangun pabrik bioidiesel baru.
Berdasarkan data Aprobi sejauh ini, di 2020 akan terdapat tambahan kapasitas produksi sebesar 3,61 juta kiloliter dengan pengembangan yang dilakukan. Namun, tak semua pabrik tersebut bisa beroperasi di awal tahun. Ada yang selesai di April, ada yang selesai di pertengahan tahun dan akhir tahun.
Baca Juga: Ekspor minyak sawit tahun 2019 naik 4,2% jadi 36,1 juta ton, bagaimana di tahun 2020?
"Teorinya, kita tidak bisa ekspor minimum pada permulaan tahun ini. Tetapi nanti kalau sudah ada perusahaan yang bisa menambah kapasitas dan kebetulan mereka memiliki kemampuan untuk ekspor, baru mungkin bisa ekspor paling cepat di kuartal II atau III," ujar Paulus, Senin (3/2).
Penambahan kapasitas produksi tak hanya dilakukan di 2020 saja. Paulus mengatakan, investasi pun akan dilanjutkan di 2021, dimana di tahun itu terdapat penambahan kapasitas produksi sebesar 3,6 juta kiloliter.
Paulus menjelaskan, faktor yang memengaruhi ekspor biodiesel tak hanya soal kapasitas produksi, tetapi juga berkaitan dengan bea masuk yang dibayarkan. Pasalnya, saat ini terdapat beberapa perusahaan yang dikenai pungutan tambahan sebesar 8% hingga 18%.
"Kemugkinan yang mendapatkan [pungutan tambahan] 8%-18% ini mungkin masih bisa [ekspor] ,tetapi praktis dengan ada aturan seperti ini sulit masuk Eropa," terang Paulus.
Baca Juga: Harga diturunkan, Pertamina ingin lebih banyak konsumen beralih ke Pertamax series
Sementara itu, ekspor ke China diperkirakan masih bisa meningkat dari ekspor tahun lalu yang sebesar 612.947 kiloliter. Meski begitu, kemampuan ekspor ini pun harus melihat kapasitas produksi yang diperkirakan sudah berkurang memenuhi kebutuhan biodiesel di dalam negeri.
Sebagai catatan, ekspor biodiesel Indonesia di 2019 hanya sebesar 1,31 juta kiloliter, turun sekitar 18,7% dari eskpor 2018 yang sebesar 1,6 juta kiloliter. Menurut Paulus, ini disebabkan adanya pengenaan pungutan tambahan yang diberlakukan Uni Eropa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News