Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Rencana pemerintah untuk memberikan karpet merah bagi liberalisasi industri mendapat sambutan beragam dari pelaku industri pariwisata di tanah air. Association of the Indonesia Tours and Travel Agencies (ASITA) justru mengaku keberatan dengan rencana penambahan porsi daftar negative investasi (DNI) di usaha biro perjalanan. Hal ini dinilai akan merugikan pelaku bisnis dalam negeri.
“Berapa investasi yang diharapkan sih? Wong biro perjalanan kebutuhannya gak banyak,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (21/1).
Dalam hitung-hitungannya untuk mengurus izin usaha biro perjalanan hanya membutuhkan dana sekitar Rp 100 juta. Lantas kalaupun harus dikembangkan paling tidak biaya yang dibutuhkan hanya sekitar Rp 10 miliar. Jumlah seperti itu diklaim masih dipenuhi oleh pebisnis biro perjalanan di tanah air.
“Tidak ada masalah dengan modal, kami gak kekurangan kok,” tandasnya.
Ia meminta agar pemerintah mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan jika langkah ini dilakukan. Bagaimanapun kata Asnawai nasib industri biro wisata dalam negeri yang akan menjadi taruhannya. Apalagi saat ini ASITA memiliki 7000 anggota dan menyerap sekitar 1,5 juta pekerja.
Menurutnya kalaupun asing diperbolehkan masuk sebaiknya tidak untuk usaha biro perjalanan tetapi lebih ke sektor infrastruktur pendukung seperti resort, hotel, kapal pesiar dan bandara. Baginya penyediaan infrastruktur pendukung itulah yang kini membutuhkan modal lebih besar ketimbang biro perjalanan.
Usulan penambahan porsi asing ini dilontarkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani. Menurutnya pemerintah telah bersepakat untuk membuka kesempatan bagi pemodal asing berbisnis di sektor usaha biro perjalanan wisata. Namun, untuk usaha agen perjalanan masih ditutup rapat bagi investor asing.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News