Reporter: Abdul Basith | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa waktu terakhir, harga referensi dan harga patokan ekspor (HPE) biji kakao mengalami kenaikan. Asal tahu saja, harga referensi biji kakao pada bulan November 2017 mengalami penguatan sebesar 4,82%, dari sebelumnya US$ 1.950 per ton menjadi US$ 2.044 per ton.
Penguatan harga referensi kakao juga mempengaruhi HPE kakao yang menguat 5,49%, dari bulan Oktober sebesar US$ 1.677 per ton menjadi US$ 1.769 per ton pada November.
Naiknya harga kakao tentu akan mendorong pemerintah untuk mengenakan bea keluar (BK) bagi komoditas tersebut. Sekadar informasi, Kementerian Perdagangan (Kemdag) telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) no. 80 tahun 2017 mengenai HPE produk pertanian dan kehutanan yang dikenakan BK. Berdasarkan aturan tersebut, biji kakao dikenakan BK sebesar 5%.
Terkait hal ini, Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang berharap, BK kakao tidak diterapkan karena bisa menyebabkan petani enggan menanam kakao lagi.
"Market naik di atas US$ 2.000 per ton, tentu kena BK. Tetapi BK harus dinolkan karena petani tidak terangsang untuk menanam kakao lagi," ujarĀ kepada Kontan.co.id, Minggu (29/10).
Di sisi lain, meningkatnya harga kakao dinilai tidak akan mendongkrak ekspor kakao. Apalagi, saat ini, pemenuhan industri dalam negeri juga masih kurang. Produksi kakao dalam negeri dikatakan Zulhefi sebeaar 300.000 ton. Sementara, kapasitas pabrik saat ini mencapai 850.000 ton. Hal tersebut dinilai mengkhawatirkan bagi industri kakao di Indonesia.
"Tahun ini impor 200.000 ton, ekspor hanya 20.000 ton. Ke depan, impor akan naik terus," jelas Zulhefi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News