Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Usai menghangatnya kabar Shell yang bakal mundur dari proyek gas di Blok Masela, kini PT Chevron Pacifik Indonesia (CPI) memberi isyarat untuk tidak melanjutkan pengembangan tahap II Blok Indonesia Deep Water Development (IDD).
Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) pun buka suara terkait dengan prospek investasi di sektor hulu migas Indonesia. Ketua Umum Aspermigas John S. Karamoy berpandangan, Indonesia memang perlu mawas diri dengan kondisi investasi migas saat ini.
Baca Juga: Menimbang calon pengganti Shell jika jadi hengkang dari proyek Masela
Namun, sekalipun dua perusahaan migas raksasa itu cabut dari proyek hulu di Indonesia, John menekankan bahwa hal tersebut tidak boleh mengganggu perkembangan hulu migas di tanah air.
John bahkan mendorong holding perusahaan migas BUMN, PT Pertamina (persero), untuk membeli hak operasi (participating interest) jika Shell jadi hengkang dari proyek Masela dan Chevron tidak berlanjut di proyek IDD.
"Indonesia jangan terganggu dengan perkembangan itu, jika memang Shell dan Chevron betul akan mengundurkan diri. Aspermigas mendukung bila Pertamina membeli hak operasi Shell di Masela dan Chevron di IDD," ungkap John saat dihubungi Kontan.co.id, Jum'at (24/7).
Menurut John, salah satu tantangan dalam pelaksanaan proyek Masela dan IDD adalah masalah pendanaan. Terkait hal ini, katanya, Pertamina sudah memiliki prestasi di sektor hulu migas yakni dengan pengembangan proyek gas Jambaran-Tiung Biru (JTB), melalui pendanaan yang menggunakan skema project financing.
"Melalui skema project financing, bisa diterapkan juga untuk proyek Masela dan IDD," ungkap John.
Jika pendanaan menjadi persoalan, sambungnya, rencana Pertamina untuk mencatatkan anak usaha di sektor hulu migas di Bursa Efek Indonesia melalui Initial Public Offering (IPO) bisa menjadi solusi. "Agar mampu menggalang dana publik untuk berinvestasi di kedua blok itu," imbuh John.
Baca Juga: Permintaan energi turun, proyek Masela baru onstream satu dekade lagi
Lebih lanjut, dia pun mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan migas raksasa tingkat global seperti Shell dan Chevron memang tengah selektif untuk memilih investasi.
Selain pandemi covid-19, salah satu tantangan utama perusahaan migas global dalam beberapa waktu terakhir adalah serotan publik internasional terhadap bisnis energi fosil yang dianggap sudah berlebihan.
"Perusahaan-perusahaan migas skala dunia mendapat tekanan untuk mengurangi keterlibatannya di dalam sektor hulu migas. Dukungan masyarakat dunia tentang peranan industri hulu migas menurun. Hal ini ditandai dengan menurunnya minat untuk memiliki saham-saham perusahaan minyak kelas dunia di bursa-bursa dunia," terang John.
Dengan tekanan itu, lanjutnya, perusahaan-perusahaan tersebut mengurangi jumlah dana investasi untuk sektor hulu migas. Berkurangnya dana investasi membuat perusahaan migas harus memilih proyek apa dan di wilayah mana yang akan investasi atau ditinggalkan. "Mereka tentunya akan memilih negara mana yang aman investasi dan berisiko rendah," pungkasnya.
Baca Juga: Investasi US$ 20 miliar di Masela lenyap? Ini jalan terjal proyek kebanggaan Jokowi
Dalam hal ini, John menekankan bahwa jika Indonesia masih membutuhkan Foreign Direct Investment (FDI) di bidang Hulu Migas, maka pemerintah perlu memberikan insentif yang menarik.
"Kontrak jangka panjang yang mengandung 3C, Consistency, Clarity, Certainty. Yang bersaing dengan negara-negara lain untuk menarik FDI tersebut," katanya.
Namun, Production Sharing Contract (PSC) yang sudah berlangsung di Indonesia lebih dari 50 tahun masih menerapkan landasan konsep kedaulatan energi. "Bukankah sudah waktunya kita mengelola sendiri industri hulu migas dengan kemampuan kompetensi tenaga-tenaga asli Indonesia?" pungkas John.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News